Surabaya (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak DPR RI untuk mempercepat proses penyelesaian RUU Perlindungan Saksi, karena keberadaan undang-undang tersebut akan sangat menentukan proses pemberantasan korupsi. "Kalangan DPR sendiri tampaknya ada yang tak menginginkan penyelesaian RUU Perlindungan Saksi, karena kalau sudah jadi undang-undang, maka masyarakat akan berani melapor dan anggota DPR bisa jadi sasaran," kata penasehat KPK, Abdullah Hehamahua di Surabaya, Rabu. Mantan aktivis yang pernah ditahan pada pemerintahan Orde Baru itu mengemukakan hal tersebut usai berbicara dalam diskusi publik tentang "Kritisi RUU Perlindungan Saksi Versi DPR RI" yang digelar Koalisi Perlindungan Saksi (KPS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Menurut dia, penyelesaian RUU Perlindungan Saksi sangat penting, karena jika sudah menjadi undang-undang dan diberlakukan, maka akan mampu mendorong peran serta masyarakat dalam melaporkan tindak pidana korupsi yang diketahuinya. "RUU Perlindungan Saksi memang cenderung digunakan untuk saksi dalam kasus pelanggaran HAM dan pidana umum, namun KPK melihat RUU Perlindungan Saksi itu dapat digunakan untuk kasus korupsi, terorisme, dan kejahatan obat bius," katanya. Dalam diskusi publik yang juga menampilkan pembicara dari eLSAM, ICW, dan pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, Abdullah Hehamahua menilai RUU Perlindungan Saksi akan membuat saksi menjadi berani. "Penegak hukum sendiri selama ini sulit mencari orang untuk menjadi saksi, karena saksi masih takut untuk memberikan kesaksiannya. Misalnya, Khairiansyah yang memberi kesaksian dalam kasus korupsi di KPU, tapi dia akhirnya dijerat dalam kasus penggelapan DAU (Dana Abadi Umat)," ujarnya. Kasus paling akhir, ada empat PNS dan seorang Kepala Dinas di Kendal, Jawa Tengah, yang akhirnya dimutasi, karena memberikan kesaksian dalam kasus korupsi yang terjadi di jajaran eksekutif di daerah setempat. "Resiko saksi umumnya memang mendapatkan intimidasi dari atasan, dipecat dari pekerjaan, dan dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena itu RUU Perlindungan Saksi sangat penting untuk segera diberlakukan," ucapnya. Senada dengan itu, Emerson Yuntho dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mengatakan, selama kurun 1995-2003 tercatat ada 25 kasus pelaporan korupsi, 19 kasus diantaranya justru dibalik menjadi pencemaran nama baik dan sisanya diteror/diintimidasi. "Jadi, kasus korupsi sampai sekarang masih belum tuntas, karena tak ada perlindungan saksi, sehingga masyarakat takut melapor karena tak mau menjadi korban. Direktur III Bareskrim Mabes Polri sudah mengeluarkan instruksi untuk melindungi saksi, tapi di lapangan tak jalan," katanya. Dalam kesempatan itu, ia mengritisi RUU Perlindungan Saksi versi DPR RI yang sifatnya melindungi saksi dalam arti "penonton", sedangkan saksi dalam arti pelapor tidak disinggung dalam RUU Perlindungan Saksi versi DPR RI tersebut.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006