Jakarta (ANTARA) - Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan selama pandemi COVID-19, jumlah perokok meningkat.

"Prevalensi merokok justru meningkat selama pandemi, bahkan di kalangan penduduk miskin," kata Yusuf dalam acara "Epidemi Rokok & Masa Depan Pengendalian Tembakau di Indonesia" yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah perokok pada 2019 ada 57,2 juta orang. Pada 2021, bertambah 2,1 juta orang menjadi 59,3 juta perokok dan pengeluaran masyarakat untuk rokok meningkat dari Rp344,4 triliun menjadi Rp365,7 triliun.

"Per tahun masyarakat habiskan triliunan untuk membeli rokok," katanya.

Baca juga: Komsumsi rokok di Solok Selatan naik 7,56 persen saat pandemi COVID-19

Baca juga: CISDI apresiasi pemerintah kurangi golongan tarif cukai rokok


IDEAS juga menemukan bahwa kemiskinan tidak selalu berimplikasi dengan turunnya konsumsi rokok, apalagi berhenti merokok.

Menurut dia, strategi umum perokok miskin adalah beralih ke rokok murah, bahkan tak jarang mereka mengharapkan pemberian orang lain.

Pada 2021, terdapat 7,3 juta perokok yang tidak bekerja dengan estimasi pengeluaran untuk rokok mencapai Rp6,8 triliun per tahun.

"Nganggur kan tidak punya uang sama sekali tapi ternyata tetap tidak berhenti merokok," katanya.

Yusuf mengatakan rokok di sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi kebutuhan dasar yang penting.

Bahkan sebagian perokok ini pernah mengalami situasi kerawanan pangan.

"Sebanyak 0,6 juta perokok mengaku pernah tidak makan seharian karena tidak punya uang tapi ternyata masih merokok. Artinya, rela kelaparan, yang penting tetap merokok. Kecanduan rokok di masyarakat kita ini luar biasa," katanya.*

Baca juga: Penderita paru obstruktif kronis akibat rokok capai 9,2 juta jiwa

Baca juga: Kemenkes sebut harga rokok masih terlalu murah

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022