Jakarta (ANTARA) - Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum menyoroti berbagai krisis yang terus berlanjut di Myanmar, akibat kurangnya pelaksanaan Konsensus Lima Poin.

“Beberapa orang telah menghubungi saya untuk menyampaikan keprihatinan mereka tentang situasi mengerikan di Myanmar setelah kudeta,” ujar Yuyun, Jumat.

Ia berbicara dalam Sidang AICHR ke-35 yang diselenggarakan 21-22 Juni 2022 melalui konferensi video.

Yuyun menyebut bahwa orang-orang di Myanmar menderita kemiskinan, pengungsian, pelanggaran dan pelanggaran hak asasi manusia, tidak ada akses ke perawatan kesehatan, dan kurangnya dukungan kemanusiaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa selama 16 bulan terakhir, sebanyak 142 anak dibunuh oleh militer Myanmar, lebih dari 250.000 orang mengungsi, dan lebih dari 1.400 orang ditahan.

Sementara itu, 142 anak telah disiksa dan sedikitnya 61 anak, termasuk beberapa di bawah tiga tahun, dilaporkan disandera.

Yuyun juga menerima laporan bahwa sejak kudeta yang dilancarkan militer tahun lalu, telah terjadi peningkatan pertempuran dan serangan udara dan darat oleh pasukan Dewan Administratif Negara (SAC) serta aktivitas militer, termasuk pos pemeriksaan keamanan, patroli, dan pergerakan pasukan yang memaksa banyak orang meninggalkan rumah mereka.

“Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa mereka menyaksikan bagaimana petugas kesehatan dan pekerja kemanusiaan telah menjadi target signifikan serangan SAC dan menjadi kurang aktif di daerah pedesaan di mana perawatan kesehatan sudah terbatas,” tutur dia.

Perempuan telah menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses ke perawatan kesehatan ibu yang memadai.

Perempuan hamil yang mengalami pengungsian memiliki risiko yang signifikan mengalami komplikasi saat melahirkan, tetapi ada kekurangan petugas kesehatan untuk membantu masalah kehamilan dan persalinan di lokasi pengungsian.

“Mereka khawatir tentang pendidikan anak-anak mereka, kurangnya akses ke makanan, dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari di bawah ketakutan,” ujar Yuyun.

Dalam beberapa kasus, kata Yuyun, tentara SAC dan Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) mengancam guru, orang tua, dan siswa untuk memaksa mereka kembali ke sekolah yang dikelola SAC. 

Kondisi itu membuat penduduk desa lebih khawatir untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut.

Penduduk desa yang mengalami pengungsian juga berisiko tinggi rumah dan desa mereka dijarah dan dihancurkan oleh tentara SAC saat mereka mengungsi. Sedangkan para lansia dan penyandang disabilitas sering kali tidak mampu mengungsi meskipun merasa tidak aman untuk tinggal di desa.

Dalam sidang AICHR, Yuyun juga menyampaikan dukungannya terhadap pernyataan Ketua ASEAN yang menyerukan penghentian niat untuk mengeksekusi empat orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer Myanmar.

“Saya berpendapat bahwa menjatuhkan hukuman mati, atau bahkan masa penahanan, berdasarkan proses yang tidak memenuhi persyaratan dasar pengadilan yang adil dapat merupakan satu atau lebih kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata dia, menegaskan.

Sebagai langkah untuk mengakhiri krisis, Yuyun kembali menyerukan agar otoritas Myanmar menghentikan kekerasan dengan segera, menghormati dan melaksanakan Konsensus Lima Poin.

Ia juga mendesak otoritas negara itu bekerja sama dengan Utusan Khusus untuk Ketua ASEAN, melindungi HAM, mengizinkan akses kemanusiaan, membangun koridor kemanusiaan yang aman, serta menyelamatkan umat manusia.

Baca juga: AICHR: ASEAN harus pastikan implementasi Konsensus Lima Poin Myanmar

Baca juga: Militer Myanmar: Suu Kyi dipindahkan ke penahanan tersendiri


 

Indonesia-Singapura bahas solusi Myanmar dengan 5 Poin Konsensus

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022