Manfaatnya terhadap risiko efek sampingannya juga rasio manfaat biaya
Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan terdapat sejumlah produk obat untuk perawatan pasien kanker dan diabetes yang hingga kini belum masuk dalam daftar Folmularium Nasional (FORNAS) karena perdebatan efektifitas dan biaya yang relatif mahal.

"Ada yang meminta agar obat ini segera dimasukkan ke FORNAS, ada yang dari dokternya, pengusahanya, pasiennya, dan asosiasinya. Itu masih pro dan kontra," kata Budi Gunadi Sadikin saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI yang diikuti dari YouTube di Jakarta, Senin.

Produk farmasi yang dimaksud di antaranya obat untuk kanker paru yang masuk kategori PD-L1 inhibitor. Berdasarkan data ilmiah, obat itu bisa menambah potensi hidup pasien selama 3,9 bulan, dibandingkan terapi standar.

Tapi biaya yang dibutuhkan setiap kali pengobatan mencapai Rp100 juta dan harus diulang setiap tiga pekan sekali. "Jadi, sebulan minimal Rp200 juta sampai terjadi perburukan, karena obat ini tidak menyembuhkan tapi hanya menunda (kematian)," katanya.

Produk obat kedua yang juga menjadi perdebatan adalah obat untuk kanker kolorektal yang masuk kategori VEGF
inhibitor.

Baca juga: Pemerintah tetapkan harga eceran tertinggi obat dalam masa pandemi

Baca juga: Menkes: Hanya 3 persen obat diproduksi di dalam negeri


Menurut Budi studi secara ilmiah menunjukkan penambahan usia hidup pasien selama 2,6 bulan bila dibandingkan terapi standar. Biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan 1 tahun usia hidup pasien berkisar Rp837 juta sampai Rp890 juta.

Kemudian juga ada obat untuk pasien diabetes yang masuk kategori SGLT2 inhibitor dengan efektivitas yang sama dengan obat yang sudah ada di FORNAS. "Tapi biaya yang dibutuhkan per bulan lebih tinggi dua sampai empat kali lipat," katanya.

Menurut Budi ketiga obat itu didiskusikan saat pembahasan di forum FORNAS 2021. Hasil rekomendasi dari Komite Nasional Seleksi Obat yang terdiri atas perwakilan Kemenkes, BKKBN, BPJS Kesehatan, BPOM RI dan para ahli dari departemen farmasi perguruan tinggi memutuskan ketiga produk obat itu tidak masuk rasio manfaat dari biaya.

"Kecuali memang biayanya bisa diturunkan oleh produsen secara drastis, karena biasanya biaya produksi obat-obatan itu murah sekali kalau mereka sudah masuk ke taraf produksi," ujarnya.

Budi mengatakan obat lainnya yang masih dalam proses kajian penilaian teknologi kesehatan adalah obat kanker payudara yang masuk kategori HER2 reseptor antagonis. "Hasilnya belum keluar," katanya.

Obat-obatan lain yang juga cukup ramai dibicarakan adalah jenis insulin berkekuatan tinggi di atas 300 internasional unit per milimeter.

"Ini tidak dimasukkan dalam fasilitas kesehatan primer, tapi bisa diberikan di fasilitas kesehatan di atasnya karena konsederasi keamanan. Tingginya dosis yang akan diberikan ini membutuhkan tenaga kesehatan spesialistik untuk memberikan dosis yang sesuai, karena kalau tidak akan berdampak buruk terhadap pasien," ujarnya.

Merespons perdebatan tersebut, kata Budi, Kementerian Kesehatan menyerahkan seluruh keputusannya pada Komite Nasional Seleksi Obat untuk dilakukan kajian rasio manfaat dan risiko.

"Jadi, berapa besar manfaatnya terhadap risiko efek sampingannya juga rasio manfaat biaya," katanya.

FORNAS sebagai kendali mutu, adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional berdasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Baca juga: Perlu solusi atasi mahalnya pengobatan kanker

Baca juga: Indonesia kembangkan herbal kurangi obat impor


 

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022