Tata kelola pemda yang baik demi mewujudkan wilayah bebas korupsi pun memerlukan kerja sama dari berbagai pihak.
Jakarta (ANTARA) - Korupsi bukan hanya kejahatan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, melainkan juga kejahatan yang merampas hak-hak asasi manusia.

Begitulah pandangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dalam memaknai kejahatan luar biasa tersebut.

Sebagai kejahatan yang luar biasa, jangkauan dampak buruk korupsi pun tak kalah luar biasa, mulai dari memperburuk pelayanan kesehatan, menghambat perwujudan pendidikan yang berkualitas, hingga mengganggu pembangunan indeks pembangunan manusia serta infrastruktur di suatu daerah ataupun negara.

Meskipun beragam dampak buruk dan konsekuensi dari tindak pidana korupsi itu nyata adanya, hal-hal tersebut belum mampu menyurutkan arus kemunculan tindak pidana korupsi, terutama dari sektor pemerintah daerah (pemda). Korupsi di lingkungan pemda makin menjadi sorotan publik menyusul makin banyaknya kepala daerah yang masuk ke dalam pusaran korupsi.

Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak 2004 hingga 3 Januari 2022 tercatat 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK karena terjerat perkara korupsi.

Menindaklanjuti persoalan tersebut, upaya pembenahan pun makin masif, terutama oleh KPK sebagai salah lembaga yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sejauh ini, KPK telah memprakarsai dan menjalankan sejumlah upaya untuk mencegah sekaligus memberantas terjadinya tindak pidana korupsi di Tanah Air, baik dari strategi pendidikan antikorupsi, pencegahan, maupun pendidikan.

Namun, menurut pakar hukum sekaligus pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti, upaya pemberantasan korupsi tidak hanya terkait dengan pencegahan dan penindakan, tetapi juga perlu menjangkau elemen lain, yakni demokrasi.

Jika penerapan demokrasi dengan bernyawakan transparansi itu secara baik, celah bagi seorang individu untuk melakukan korupsi akan tertutup dengan sendirinya. Adapun langkah utama dari pembangunan sistem demokrasi yang baik adalah melalui penerapan tata kelola pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, apa yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik guna mencegah, bahkan memberantas korupsi?

Baca juga: Komite I DPD pelajari tata kelola pemerintahan Kabupaten Badung
Baca juga: Tata kelola pemerintahan inklusif dan penguatan keberagaman di daerah


Delapan Instrumen

Merujuk pada sistem Monitoring Center for Prevention (MCP) yang diinisiasi oleh KPK untuk pantau capaian kinerja program pencegahan korupsi pemerintah daerah, ada delapan instrumen yang menjadi sorotan karena dinilai berperan besar perbaiki tata kelola pemerintahan daerah agar bebas dari korupsi.

Delapan instrumen ini, kata Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, dirumuskan berdasarkan pertimbangan terhadap catatan dari bagian penindakan mengenai empat kasus korupsi yang kerap terjadi di ranah pemerintah daerah. Empat kasus itu adalah suap terkait dengan pengesahan RAPBD, pengadaan barang/jasa, perizinan, dan jual beli jabatan.

Instrumen pertama adalah perencanaan dan penganggaran APBD. Seperti yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt.) Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding, sektor tersebut menjadi salah satu fokus KPK dalam pencegahan korupsi yang terintegrasi mengingat pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu titik rawan korupsi.

Adapun kasus korupsi yang kerap ditemukan dalam ranah perencanaan dan penganggaran APBD, di antaranya adalah korupsi berupa biaya atau izin suatu proyek, penerimaan hadiah terkait dengan pengesahan APBD, dan penyelewengan dana aspirasi.

Oleh karena itu, untuk membebaskan suatu daerah dari korupsi, pemerintah setempat agar merumuskan APBD ke dalam sistem yang terpadu dan terbuka. Implementasi sistem tersebut selanjutnya dapat membuka kesempatan bagi publik untuk memantau, bahkan memberikan saran secara langsung kepada pemerintah daerah.

Instrumen yang kedua adalah pengadaan barang/jasa. Sama halnya seperti modus penyalahgunaan anggaran, kasus korupsi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa juga mendominasi di Tanah Air. Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021, mencatat sebagian besar kasus korupsi di sektor pengadaan barang/jasa menggunakan modus kegiatan atau proyek fiktif, penggelembungan dana, dan laporan fiktif.

Guna mencegah sekaligus memberantas korupsi di sektor pengadaan barang/jasa ini, sebagaimana arahan dari KPK, pemerintah daerah dapat memanfaatkan e-katalog. Aplikasi belanja daring yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini ditujukan cegah terjadinya korupsi di ranah pengadaan barang/jasa. Melalui e-katalog, setiap penawaran dalam pengadaan barang/jasa di daerah dapat dipantau secara terbuka oleh publik.

Di samping itu, pemerintah daerah juga dapat menyusun aksi perbaikan dalam tata kelola pengadaan barang/jasa dengan membentuk unit kerja pengadaan barang/jasa (UKPBJ) yang independen, memunculkan perencanaan pengadaan barang/jasa secara transparan dan akuntabel, serta mengulas harga perkiraan sendiri.

Instrumen ketiga adalah sektor perizinan. Sebagai salah satu titik rawan korupsi di daerah, terdapat beberapa langkah pembenahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, di antaranya pembentukan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).

Untuk menyederhanakan proses perizinan dan mencegah terjadinya praktik pungutan liar dan suap, di dalam PTSP, butuh pemantauan pengurusan izin dari pemerintah daerah, mulai dari izin regulasi dan infrastruktur, proses perizinannya, hingga pengendalian dan pengawasan.

Instrumen yang keempat adalah penguatan aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Penguatan APIP menjadi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah agar pengawasan terhadap kinerja mereka dapat pula menguat sehingga menutup celah-celah untuk melakukan korupsi. Penguatan APIP dengan meningkatkan jumlah sumber daya manusia (SDM), mengoptimalkan kompetensi, dan memastikan ketersediaan anggaran.

Baca juga: Mahfudz harapkan KPK lakukan penguatan tata kelola pemerintahan
Baca juga: KSP: Perbaikan tata kelola pemerintahan dan hukum membuahkan hasil


Berikutnya, ada pula instrumen manajemen aparatur sipil negara (ASN). Pemerintah daerah dapat memantau manajemen ASN melalui penilaian kinerja, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dan unit pengendalian gratifikasi.

Pemantauan tersebut diyakini oleh KPK mampu berantas praktik korupsi yang rentan dilakukan ASN, seperti jual beli jabatan ataupun penempatan ASN yang tidak sesuai dengan kebutuhan ataupun kompetensi.

Instrumen yang keenam adalah optimalisasi pajak daerah. KPK mendorong pemerintah daerah untuk untuk menyusun basis data pajak yang andal, pengawasan pajak, penagihan piutang pajak, dan penegakan hukum pajak dalam rangka mencegah kebocoran pajak sekaligus sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan daerah.

Selanjutnya yang ketujuh, manajemen aset daerah, yakni pemerintah daerah dapat menyusun upaya-upaya konkret dalam memperbaiki manajemen aset daerah dengan melakukan penatausahaan aset, sertifikasi aset, serta pengawasan dan pengendalian aset daerah demi menghindari pencatatan dan pengelolaan aset yang tidak transparan dan akuntabel sehingga banyak aset daerah yang justru dikuasai pihak ketiga.

Yang terakhir adalah tata kelola dana desa. Masih dari catatan ICW, diketahui bahwa korupsi dana desa ini kerap menempati peringkat teratas sebagai sektor yang paling banyak ditangani oleh penegak hukum. Bahkan, pada tahun 2021, potensi nilai kerugian negara akibat korupsi dana desa mencapai Rp233,3 miliar.

Untuk menutup celah korupsi dana desa, KPK menyarankan pemerintah daerah agar memublikasikan kepada publik perihal anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), pertanggungjawaban terhadap dana desa dan mengimplementasikan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Sikeudes) dan Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswakeudes), serta audit penggunaan dana desa sebagai bentuk pengawasan.

Rekomendasi yang mengedepankan prinsip keterbukaan itu untuk menutup celah korupsi terhadap dana desa akibat kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan.

Berdasarkan seluruh paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa roh dari pembenahan tata kelola pemerintahan daerah pada dasarnya mencakup beberapa unsur, seperti perwujudan partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi.

Tata kelola pemerintahan daerah yang baik demi mewujudkan wilayah bebas korupsi pun memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari internal pemda, para pemangku kepentingan, hingga masyarakat.

Kerja sama tersebutlah yang berpotensi besar menghasilkan kekuatan luar biasa untuk memerangi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022