Satgas API trawl dan cantrang melibatkan lintas instansi, mulai dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bintan, Badan Keamanan Laut (Bakamla), PSDKP, Polres Bintan, TNI-AL, kejaksaan serta instansi terkait yang menaungi masalah perikanan
Bintan (ANTARA) - Pemerintah kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawas Alat Tangkap Ikan (API) trawl atau pukat harimau dan cantrang di daerah tersebut.

Plt Bupati Bintan Robby Kurniawan di Bintan, Kamis menyatakan pembentukan satgas ini menyusul banyaknya keluhan nelayan tradisional Bintan yang merasa dirugikan oleh aktivitas kapal trawl dan cantrang.

"Nelayan tradisional mengeluhkan dua alat tangkap ikan itu saat ini marak beroperasi di perairan Bintan," katanya.

Menurutnya pembentukan Satgas API trawl dan cantrang melibatkan lintas instansi, mulai dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bintan, Badan Keamanan Laut (Bakamla), PSDKP, Polres Bintan, TNI-AL, kejaksaan serta instansi terkait yang menaungi masalah perikanan.

Satgas akan melakukan pengawasan bersama dalam merespon keluhan dan aspirasi nelayan tradisional Bintan.

Pemkab Bintan juga segera melakukan pertemuan dengan Gubernur Kepri Ansar Ahmad untuk menyampaikan terkait persoalan yang dihadapi nelayan setempat supaya bisa diteruskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Mengingat kewenangan pengawasan terhadap pengelolaan perikanan di bawah 12 mil laut, merupakan kewenangan Pemprov Kepri," katanya.
​​​
Ia optimistis ke depan pengawasan yang akan dilakukan satgas diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan adanya oknum-oknum yang mengakomodir kapal trawl dan cantrang di laut Bintan.

"Makanya harus diperketat pengawasannya. Tentunya semua pihak dalam hal ini satgas harus saling kerja sama dan koordinasi,” kata Robby Kurniawan..


Sementara itu, perwakilan nelayan tradisional Bintan Yadi menyampaikan ada puluhan kapal nelayan menggunakan alat tangkap trawl dan cantrang di bawah 12 mil dari bibir pantai.

Penggunaan kedua alat tangkap itu membuat hasil tangkapan ikan nelayan tempatan jadi turun drastis, sebab trawl dan cantrang sama-sama beroperasi menyentuh dasar perairan dan menjaring semua biota laut tanpa terkecuali, termasuk merusak terumbu karang.

"Sementara nelayan tradisional kita masih memakai alat tangkap tradisional, seperti bubu. Kalah saing dengan kapal trawl dan cantrang," katanya.

Dia berharap pemerintah daerah dapat memperjuangkan nasib nelayan tradisional, mengingat banyaknya keluhan nelayan lokal tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, hingga kesulitan membiayai sekolah anak imbas berkurangnya hasil tangkapan ikan.

Sejak dua alat tangkap ikan itu beroperasi di laut Bintan dalam beberapa bulan terakhir, menurutnya, nelayan lebih banyak pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa membawa ikan setelah turun melaut berhari-hari.

Bahkan alat tangkap bubu nelayan tradisional banyak rusak akibat tersapu alat tangkap yang sempat dilarang beroperasi pada era Menteri KKP Susi Pudjiastuti tersebut. Padahal alat bubu itu dibuat dengan memakan biaya sekitar Rp600 ribu per buah.

"Sekarang ini, paling ada satu ekor ikan masuk ke bubu, padahal sebelumnya bisa sampai belasan hingga puluhan ekor ikan per hari," katanya.

Ia juga menilai minimnya pengawasan dari pihak berwenang terkait keberadaan kapal nelayan trawl dan cantrang yang diduga berasal dari luar maupun dalam wilayah Bintan.

Nelayan berharap pemerintah meninjau ulang tentang terkait pengoperasian alat tangkap tersebut, terutama yang beroperasi di bawal 12 mil dari bibir pantai.

"Harusnya ditertibkan, kedua alat itu boleh beroperasi di atas zona 12 mil agar tak mengganggu area tangkap nelayan lokal," demikian Yadi.

Baca juga: Ratusan kapal pukat mayang meresahkan nelayan pesisir Bintan

Baca juga: Pemerintah diserukan tindak tegas pengguna trawl dan cantrang

Baca juga: KKP tangkap dua kapal pukat harimau di perairan Selat Malaka

Baca juga: Nelayan China tangkap ikan dengan pukat harimau di laut Natuna

 

Pewarta: Ogen
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022