Walaupun berbeda kategorisasi dalam karakteristiknya, tapi itu tidak menjadi halangan, justru saling menguatkan dan melengkapi
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengharapkan adanya perbedaan data soal kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat saling mengisi dan melengkapi.

"Walaupun berbeda kategorisasi dalam karakteristiknya, tapi itu tidak menjadi halangan, justru saling menguatkan dan melengkapi data-data yang ada dari tiga lembaga," ujar Kepala Biro Data dan Informasi KPPPA, Lies Rosdianty dalam Laporan Sinergi Database Kekerasan Terhadap Perempuan secara daring diikuti di Jakarta, Senin.

Disampaikan, ketiga lembaga itu yakni KPPPA, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL).

Lies memaparkan pada semester pertama (Januari-Juni) 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang tercatat pada sistem data tiga lembaga sebanyak 11.833 korban.

Baca juga: KPPA: "Daycare" perusahaan optimalkan pengasuhan anak di tempat kerja

Ia merinci, SIMFONI PPA (Kemen PPPA) sebanyak 9.057 korban, Sintaspuan KP (Komnas Perempuan) sebanyak 1.967 korban, dan Titian Perempuan FPL (Forum Pengada Layanan) sebanyak 806 korban.

Sementara pada semester kedua (Juli-Desember) 2021, disampaikan, terjadi peningkatan pelaporan data KtP yang terlaporkan, yaitu sebanyak 15.502 korban dengan rincian SIMFONI PPA sebanyak 12.701 korban, Sintaspuan KP 2.043 korban, dan Titian Perempuan FPL 758 korban.

Ia mengatakan, jika ditotal maka jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021 yang tercatat pada sistem data tiga lembaga adalah 27.335 korban.

Kemudian selama periode Juli-Desember 2021, Lies mengemukakan data KPPPA mencatat jenis kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi adalah kekerasan seksual, sedangkan data Komnas Perempuan dan FPL mencatat jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan psikis.

Baca juga: KPPA sebut pentingnya sinergi semua cegah kekerasan perempuan-anak

Secara geografis, lanjut dia, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi tiga wilayah tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat di tiga Lembaga.

"Tingginya pelaporan kasus KtP di ketiga provinsi tersebut, selain karena ketiganya merupakan provinsi dengan jumlah
penduduk terbesar, juga ketersediaan akses layanan pengaduan yang lebih luas," paparnya.

Berdasarkan analisa tiga lembaga, dikemukakan, korban dengan tingkat pendidikan SLTA adalah kelompok tertinggi yang mengalami kekerasan.

"Kondisi ini kemungkinan disebabkan mereka memiliki pengetahuan atau literasi kekerasan berbasis gender yang lebih baik dibandingkan korban dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah, sehingga korban tahu dan berani
melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya," kata Lies.

Baca juga: KPPPA : 66,6 persen anak saksikan pornografi di media "online"

Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan, kekerasan terhadap perempuan kelompok disabilitas sebagai kelompok rentan harus menjadi perhatian dan prioritas.

Data SIMFONI PPA mencatat, kasus KtP disabilitas tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 113 korban, data FPL mencatat 13 korban dan Komnas Perempuan sebanyak tiga kasus.

Dengan adanya Laporan Sinergi Data Kekerasan ini, ia mengharapkan, dapat dimanfaatkan untuk mengetahui gambaran kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak secara aktual sebagai bahan penyusunan kebijakan dan koordinasi penanganan kasus untuk kepentingan pemajuan hak asasi perempuan.

Baca juga: KPPPA: Masih banyak kasus perempuan berada dalam posisi disalahkan
 
 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2022