Jakarta (ANTARA) - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sedang menyusun kajian pembiayaan terkait kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"DJSN, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan telah melaksanakan rapat koordinasi pelaksanaan kebijakan JKN berbasis KRIS, serta kenaikan tarif layanan kesehatan pada 16 September 2022," ujar Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR yang diikuti dari YouTube di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan tarif yang akan digunakan dalam implementasi uji coba KRIS JKN menggunakan sistem tarif INA-CBG'S berbasis aplikasi yang digunakan sebagai pengajuan klaim rumah sakit, puskesmas, dan semua Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) bagi masyarakat miskin Indonesia.

Menanggapi tahapan implementasi KRIS tersebut, Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan mengacu pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diamanatkan besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah setempat.

Baca juga: Kemenkes telah susun Peta Jalan Program KRIS

"Mengacu pada penjelasan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS disebutkan pemerintah menetapkan standar tarif setelah mendapatkan masukan dari BPJS bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah," katanya.

Besaran tarif di suatu wilayah tertentu dapat berbeda dengan tarif di wilayah lainnya sesuai dengan tingkat kemahalan harga di wilayah setempat, sehingga diperoleh pembayaran fasilitas kesehatan yang efektif dan efisien.

"Tentunya pembahasan INA CBGs saat ini harus mengacu pada Pasal 24 ayat (1) UU SJSN dan Penjelasan Pasal 11 huruf (d) UU BPJS, yaitu dibicarakan dan disepakati terlebih dahulu antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Faskes di wilayah tertentu," katanya.

Ia mengatakan selama ini penetapan nilai INA CBGs dan kapitasi hanya ditentukan oleh Menteri Kesehatan, bukan hasil kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan Asosiasi Faskes di wilayah tertentu, sehingga banyak menimbulkan keluh kesah dari RS.

"Bila nilai INA CBGs yang akan ditetapkan tidak masuk ke harga keekonomian RS, khususnya RS swasta, maka pembatasan KRIS di Pasal 18 akan mendorong RS swasta menerapkan angka minimal, yaitu 40 persen untuk diberikan kepada pasien JKN. Ini akan menyusahkan pasien JKN untuk mengakses KRIS," katanya.

Baca juga: Peneliti: Program KRIS dorong pemerataan layanan kesehatan

Sementara itu, implementasi uji coba KRIS saat ini dilakukan dalam dua skema, yaitu kelas 1 dengan maksimal dua tempat tidur per ruangan dan kelas KRIS dengan maksimal empat tempat tidur.

Pemerintah telah menetapkan petunjuk teknis implementasi uji coba KRIS JKN melalui Kepdirjenyankes Nomor HK.02.02/1/2995/2022 tentang RS Penyelenggara Uji Coba Penetapan KRIS JKN.

Uji coba itu dilaksanakan pada tahun ini di empat RSUP, yaitu RS Abdullah Rivai Palembang, RS Surakarta, RS Tadjudin Chalid Makassar, dan RS Leimena Ambon.

Tahapan berikutnya pada 2023 ditargetkan 50 persen RS vertikal mengimplementasikan KRIS JKN, serta 25 persen RSUD di provinsi, 25 persen RSUD kota/kabupaten, 25 persen RS TNI/Polri, dan 25 persen RS swasta bergabung dalam program tersebut.

Pada 2024, jumlah peserta fasilitas layanan kesehatan program KRIS JKN ditingkatkan masing-masing 100 persen RS vertikal, 50 persen RSUD provinsi, 50 persen RSUD kota/kabupaten, 50 persen RS TNI/Polri, dan 50 persen RS swasta.

Baca juga: BPJS Kesehatan: Pelayanan JKN berjalan normal selama uji coba KRIS

Pada 2025, ditargetkan implementasi KRIS dilakukan di seluruh rumah sakit di Indonesia.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022