Jakarta (ANTARA) - Pakar Agraria/Pertanahan B. F. Sihombing memaparkan lima faktor penyebab konflik tanah hak-hak barat terus berlanjut di Indonesia.

"Paling tidak ada lima peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang masih mengakui hak-hak barat," kata Sihombing usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Hukum Agraria/Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Rabu.

Faktor pertama, kata Sihombing, ialah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir. UU tersebut, lanjutnya, memberikan dua kebijakan, yakni pemberian hak atas tanah dan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak atas tanah tersebut.

"Kurang lebih 64 tahun pensertifikatan dan ganti kerugian ini di Indonesia tidak bisa berjalan lancar. Oleh sebab itu, sekarang ini menjadi banyak konflik pertanahan baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil," ujarnya.

Baca juga: MPR: Reforma agraria harus menyasar masyarakat yang butuh lahan

Faktor kedua, katanya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kemudian, faktor ketiga ialah Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 2 tahun 1960 Tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

"Peraturan ini lahir atas amanat dari pasal IX ketentuan-ketentuan konversi yang ada dalam UUPA. Peraturan inilah yang pertama memberikan atau membolehkan semua hak-hak barat dapat disertipikatkan," katanya.

Faktor keempat, ujarnya lagi, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Terakhir, katanya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang masih mengakui hak-hak barat.

Baca juga: Menteri ATR minta tanah redistribusi agar dijaga dari mafia

Sihombing menyebut bahwa meningkatnya konflik tanah di Indonesia sendiri dapat dilihat dari hadirnya Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah dalam struktur organisasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

"Hal mana sebelumnya belum ada Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah atau naik jadi Eselon I," kata Sihombing.

Selain Sihombing, Universitas Pancasila juga mengukuhkan empat guru besar lainnya. Sejumlah tokoh yang hadir antara lain Wakil Presiden RI ke–6 Try Soetrisno, mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko kesra) Haryono Suyono, Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno dan para tamu undangan lainnya.

Baca juga: Kemendagri soroti konflik pertanahan di daerah hambat pembangunan

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022