Siapa lagi yang akan menghargai inovasi karya anak bangsa kalau bukan bangsa kita sendiri
Jombang (ANTARA) - Gempa Bumi menjadi ancaman bagi manusia dan bangunan. Indonesia, yang dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, termasuk kawasan rawan gempa.

Gempa Bumi tidak bisa diketahui persis kapan terjadi. Namun manusia bisa berikhtiar mengurangi risiko atas bencana tersebut, antara lain, dengan mendirikan bangunan tahan gempa. Bencana alam ini sering menelan banyak korban akibat manusia tertimpa reruntuhan bangunan.

Oleh karena itu, bangunan tahan gempa menjadi keharusan untuk menekan sekecil mungkin jatuhnya korban jiwa. ​​​​Bukan hanya rumah, gedung perkantoran, dan rumah sakit yang membutuhkan konstruksi seperti itu. Masjid pun memerlukannya karena sering digunakan ibadah oleh banyak orang .

Salah satu tempat ibadah umat Islam dengan konstruksi bangunan tahan gempa adalah Masjid Dr. H. Moeldoko di Jombang, Jawa Timur. Dibangun di tepi jalan raya menuju jalur tol, Desa Kayen, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, masjid ini sejak awal memang dirancang tahan gempa.

Pelaksanaan pembangunan masjid dipimpin oleh Istu Hari, yang menjabat Gubernur Akmil pada 2012-2013. Rumah ibadah ini dibangun dengan dana pribadi Moeldoko. 

Konstruksi bangunan masjid terbilang kokoh dengan menggunakan fondasi konstruksi jaring rusuk beton (KJRB). Konstruksi ini merupakan penyempurnaan dari fondasi konstruksi sarang laba-laba (KSLL) yang merupakan fondasi tahan gempa karya anak bangsa.

Penerapan konstruksi fondasi tersebut dilatarbelakangi kondisi geografis di Indonesia yang berada di kawasan vulkanis Khatulistiwa sehingga memiliki kondisi tanah spesifik, yakni berisiko terjadi gempa serta karakter tanah turun (lunak, ekspansif atau gambut).

Secara umum, kondisi tanah tersebut memerlukan kekakuan solid di antara tumpuan bangunan di permukaan tanah supaya tidak terjadi gerakan parsial, baik horisontal (gempa) maupun vertikal (tanah turun), yang dapat menimbulkan kerusakan bangunan.

Teknologi fondasi KSLL merupakan karya dua orang co-inventor, Ir. Ryantori Angkaraharja dan Ir. Sutjipto pada 1976 di Surabaya. Temuan teknologi fondasi ini mampu mengantisipasi kondisi tanah di Indonesia tersebut. Teknologi itu cocok untuk desain gedung dengan ketinggian tanggung, 2-- 8 lantai, di atas tanah lunak.

KSLL pada tahun 1978 telah digunakan oleh ratusan bangunan di seluruh wilayah Indonesia dan terbukti tahan gempa, misalnya, pada akhir 2004 terjadi gempa dan tsunami di Aceh berkekuatan 9,2 SR, dan tahun 2009 gempa di Padang berkekuatan 8,9 SR.

Kendati gedung-gedung yang menggunakan teknologi tersebut masih berdiri kokoh saat gempa terjadi, teknologi ini belum sepenuhnya sempurna. Karena gedung yang dibangun di tanah sangat lunak, terkadang terjadi beda waktu konsolidasi tanah di bawah keempat pojok gedung tersebut.

Walaupun masih dalam ambang batas aman dan tidak menimbulkan dampak kerusakan struktur, ketika terjadi kemiringan kecil dan sementara pada tahun-tahun pertama, tentu masih menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna bangunan.

Ryantori Angkaraharja, alumnus Teknik Sipil ITS sering berdiskusi dengan Puguh Iryantoro, alumnus Teknik Sipil ITB, serta Hadi Wardoyo yang sering memimpin proyek-proyek pembangunan. Akhirnya teknologi tersebut sepakat disempurnakan.

Saat penyempurnaan fondasi konstruksi sarang laba-laba tersebut, Ryantori terinspirasi dalam perjalanan dari Surabaya menuju Malang melalui tanjakan Pandaan. Waktu itu ada truk terhenti akibat tidak kuat menanjak, lalu kernet turun membawa kayu balok diletakkan untuk mengganjal ban belakang.

Sebuah pemandangan biasa, tetapi terlintas pada pikiran Ryantori, bahwa balok seberat 3 kilogram mampu menahan truk yang beratnya melebihi 50 ton.

Hal itu disebabkan karena fungsi balok ganjal tersebut adalah menghentikan laju pergerakan mundur akibat kemiringan, bukan menahan beban vertikal truk.

Pada tahun 2013, diperoleh invensi baru yang mengacu pada penyempurnaan dengan penambahan anti-tilting berupa pasak vertikal yang mampu menahan perbedaan laju kemiringan bangunan. Teknologi KSLL yang ditemukan tahun 1976 tersebut, setelah disempurnakan, diberi nama fondasi konstruksi jaring rusuk beton pasak vertikal (Fondasi KJRB).

Karena terkait dengan konsolidasi tanah, Hadi menyarankan temuan ini segera dikonsultasikan dengan ahli tanah untuk mendapatkan pengakuan secara akademis. Ryantori bersama Hadi menemui Prof. Herman Wahyudi, ahli tanah dari ITS dan Prof. Aziz Jayaputra dari ITB. Prinsip Pondasi KJRB penyempurnaan dari fondasi KSLL secara akademis bisa diterima.

Puguh, salah seorang Ketua Gabungan Rekanan Konstruksi Indonesia, menyampaikan bahwa bangunan-bangunan yang menggunakan teknologi fondasi KJRB relatif mudah dilakukan oleh pelaku jasa konstruksi. Keunggulan utama fondasi KJRB yang signifikan adalah untuk gedung tanggung 2 – 8 lantai di atas tanah lunak dan di daerah rawan gempa.

Setelah secara akademis dan profesional bisa diterima, dengan didampingi pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pada 2 Oktober 2014, temuan itu didaftarkan ke Direktorat Paten Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham.

Pada tanggal 28 Desember 2016, fondasi konstruksi jaring rusuk beton pasak vertikal (Fondasi KJRB) memperoleh sertifikat paten dengan Nomor IDP000043873 yang berdiri sendiri sebagai paten biasa, bukan paten turunan atas paten lain.

Fondasi KJRB ini dinyatakan terbukti kokoh, efisien, dan ekonomis. Kokoh karena secara teknis bisa dipertanggungjawabkan dan teruji gempa, efisien karena bisa menggantikan 25 jenis pekerjaan bangunan bawah (sub-structure).

Selain itu, pelaksanaan pekerjaan lebih cepat dengan menggunakan sistem ban berjalan, padat karya dan ramah lingkungan, serta ekonomis karena secara umum bisa menghemat anggaran biaya total sub-structure 10 - 30 persen dibanding fondasi pancang/konvensional.

Kali pertama
Dengan segala keunggulan konstruksi tersebut maka pembangunan Masjid Dr. H. Moeldoko akhirnya menerapkan temuan teknologi tersebut.

Masjid itu disebut bangunan pertama yang menggunakan fondasi KJRB. Awalnya, pertengahan tahun 2014, KSAD Jenderal Moeldoko, yang kemudian menjadi Panglima TNI, merencanakan pembangunan masjid di Jombang.

Pada perencanaan awal, fondasi masjid menggunakan fondasi tiang pancang. Namun setelah dilakukan rekayasa perencanaan dengan penggunaan fondasi KJRB, ternyata biaya fondasi KJRB bisa menghemat sampai 23 persen.

Dengan dasar penghematan tersebut, Mayjen TNI Istu Hari Subagio selaku penanggung jawab pembangunan masjid memutuskan menggunakan fondasi KJRB, yang kemudian disetujui oleh Jenderal Moeldoko.

Peletakan batu pertama pembangunan masjid yang kemudian berkembang menjadi Islamic Center di Jombang tersebut, dilakukan langsung oleh Moeldoko pada saat HUT TNI, tanggal 5 Oktober 2014.

Moeldoko menyambut baik kali pertama diterapkannya fondasi KJRB pada masjid tersebut. Ia harus menghargai inovasi karya anak bangsa Indonesia, teknologi fondasi yang telah teruji oleh gempa di Aceh dan Padang.

“Siapa lagi yang akan menghargai inovasi karya anak bangsa kalau bukan bangsa kita sendiri,” katanya.


Tanda syukur

Masjid bergaya Turki Utsmani ini dibangun sebagai tanda bakti dan rasa syukur atas segala berkah karunia Allah SWT.

Moeldoko  yang kini Kepala Staf Kepresidenan itu merupakan putra daerah kelahiran 8 Juli 1957 dari Desa Pesing, Kecamatan Purwoasri, Kabupaten Kediri. Pembangunan masjid itu sekaligus sebagai pengingat semasa pendidikan sekolah menengah atas sering melalui jalan perenungan antara Kediri-Jombang.

Dahulu, ia pernah bersekolah di SMPP Jombang (sekarang SMA Negeri 2 Jombang). Dipilihnya daerah ini sebagai lokasi pembangunan masjid untuk mengingatkan kembali akan masa sekolahnya dahulu.

Arsitektur masjid tersebut juga terinspirasi saat Moeldoko melakukan perjalanan spiritual dan berkunjung ke salah satu ikon puncak peradaban Islam, yaitu Masjid Biru di Istanbul, Turki.

Selain itu, kemegahan Masjid Ar Rayyan, Kebon Sirih, Jakarta, juga membulatkan niat untuk segera merealisasikan pembangunan masjid ini. Proses pembangunan ditandai peletakan batu pertama pada 5 Oktober 2014 dan peresmian masjid pada tanggal 1 Juni 2016.

Pembangunan masjid ini diharapkan mampu menggerakkan hati dan pikiran anak cucu, keluarga besar, dan seluruh sahabatnya untuk selalu berani meninggalkan penanda kebajikan di mana pun mereka berproses dalam menjalani kehidupan.

Pembangunan masjid ini dilengkapi beragam sarana. Selain sebagai tempat ibadah, ada juga islamic center, pesantren anak yatim, gedung serbaguna Koes Moeldoko, area bermain, tempat pendidikan anak-anak, parkir, fasilitas toilet, hingga sentra makanan.

Lokasi ini menarik. Selain sebagai tempat ibadah, juga tempat istirahat. Lokasinya berada di pintu masuk jalan tol di Bandar Kedungmulyo, Kabupaten Jombang, pas sebagai lokasi istirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

Memasuki area halaman masjid, akan disambut dengan ramah oleh petugas. Sebagai tempat ibadah, masjid ini terbuka untuk siapa pun hingga 24 jam.

Masjid Moeldoko sanggup menampung jamaah sekitar 1.500 orang. Masjid ini berukuran 30X30 meter persegi, sedangkan lahannya seluas 6.685 meter persegi.

Kini, seluruh aset masjid tersebut dikelola oleh Pemkab Jombang, kecuali panti asuhan. Moeldoko berniat untuk tetap mengelola panti asuhan tersebut dan menyekolahkan "anak-anaknya" hingga perguruan tinggi. ***3***




Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022