Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Emi Nurjasmi membeberkan, melalui data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, sebanyak 72 ribu atau 15 persen kematian bayi di Indonesia terjadi pada usia neonatal.

"Lalu target saat ini menjadi 10 persen untuk neonatal dan untuk bayi menjadi 12 persen. Kematian bayi itu terjadi pada usia satu bulan, ini yang paling tinggi,” kata Emi dalam keterangan tertulis BKKBN yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.

Masa neonatal adalah masa sejak lahir sampai dengan empat minggu atau 28 hari sesudah anak dilahirkan. Sayangnya kematian bayi di masa tersebut masih sangat memprihatinkan dan rumit untuk diselesaikan.

Tingginya angka kematian bayi terjadi paling tinggi di rumah sakit yakni 67 persen. Sisanya berada di rumah atau fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) seperti puskesmas dan klinik.

Baca juga: BKKBN: Wujudkan Indonesia Emas perlu pre-konsepsi sebelum menikah

Baca juga: Palangka Raya tingkatkan kesehatan reproduksi tekan kematian ibu-bayi


Di samping kematian bayi pada masa neonatal atau usia 0-28 hari itu, rupanya Indonesia juga dihadapkan dengan jumlah kematian bayi yang berusia 0-12 bulan mencapai 24 persen atau sekitar 151.200 kematian menurut data SDKI 2017.

Emi menekankan periode kelahiran mulai dari hamil sampai masa nifas berkaitan erat dengan periode pertolongan persalinan, hingga persiapan persalinan, sehingga bidan diharapkan dapat memberikan layanan yang nyaman dan sesuai standar pada ibu hamil.

“Saya mohon para bidan menaruh perhatian penuh agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai standar, agar memberikan kontribusi yang maksimal terhadap penurunan angka kematian pada bayi, balita termasuk penurunan angka stunting,” tuturnya.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan  selain memperhatikan pelayanan pada masa kehamilan, edukasi terkait pemberian ASI eksklusif selama enam bulan kepada bayi baru lahir harus digencarkan juga oleh bidan karena efeknya yang sangat signifikan untuk mencegah stunting.

Berdasarkan data yang dipaparkanya, rata-rata seorang Ibu yang sukses memberi ASI eksklusif masih sekitar 65 persen.

Dalam data UNICEF dan WHO pun, hanya 41 persen bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif di bawah enam bulan. Hal itu berdampak pada bayi lahir prematur dan panjang kurang dari 48 sentimeter berdasarkan Riskesdas 2018 ada sebanyak 29 persen.

Sedangkan bayi dengan berat badan rendah (BBLR) yang kurang dari 2,5 kilogram masih 11 persen lebih.

Hasto menekankan enam bulan pertama harus dicermati karena pemberian ASI eksklusif menjadi suatu jawaban mengkoreksi kekurangan-kekurangan bayi baru lahir.

“Oleh karena itu, kita masih harus berupaya keras untuk meningkatkan promosi ASI,” ujarnya.*

Baca juga: BKKBN: Pengetahuan kesehatan reproduksi kunci tekan kematian ibu-bayi

Baca juga: Karawang tekan kasus kematian ibu dan bayi melalui peraturan bupati


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022