Jakarta (ANTARA) - Perusahaan rintisan (startup) pertanian pintar (smart farming) Beleaf meraih pendanaan tahap awal (seed funding) sebesar 2 juta dolar AS atau setara Rp30 miliar yang dipimpin oleh firma modal ventura Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari MDI-Finch Capital’s Arise, dan beberapa investor lain.

Dengan pendanaan baru ini, Beleaf akan fokus untuk meningkatkan teknologi dan sumber dayanya, termasuk membuka lebih banyak pusat riset dan komunitas di Jawa Barat. Beleaf juga akan menambah “Seikat”, brand baru, yang ditujukan bagi pasar massal ke lini bisnisnya, kata Amrit Lakhiani, Founder & CEO Beleaf dalam siaran pers pada Selasa.

Didirikan pada tahun 2019 oleh Amrit Lakhiani, Beleaf adalah perusahaan smart farming yang memiliki misi meningkatkan hasil dan produktivitas petani di seluruh Indonesia. Perjalanan Beleaf diawali dengan produksi serta penjualan sayuran dan buah hidroponik premium, mulai dari sayuran hijau hingga melon.

Baca juga: Pesanan melonjak, Sayurbox tambah pekerja untuk kelancaran distribusi

Dari pengalaman kebun mereka sendiri, tahun ini Beleaf mulai mengembangkan produknya ke sistem manajemen pertanian berbasis teknologi.

Beleaf menggunakan big data dan sistem Internet-of-Things (IoT) yang memungkinkan automasi yang akurat serta layanan manajemen pertanian lainnya. Saat ini, Beleaf fokus pada tiga fitur utama: kontrol, otomatisasi, dan manajemen sistem.

Melalui platform Beleaf, petani dapat memantau proses pembibitan, suhu, nutrisi, posisi penanaman tumbuhan, aliran udara, kelembaban, irigasi, hingga pengemasan. Semua data yang dikumpulkan dari proses ini akan digunakan untuk menjadi feedback bagi machine learning untuk penelitian dan pengembangan solusi masa depan bagi Beleaf dan kebun itu tersendiri.

“Sistem ini kami sebut Beleaf Operating System (OS) sebuah platform yang berfungsi menghubungkan perangkat IoT, pengumpulan data, pemantauan, logistik, penjadwalan, serta prediksi. Tujuan utama dari OS ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasi sebuah perkebunan,” kata Amrit.

“Perkebunan rekanan kami yang telah menggunakan Beleaf OS telah melihat peningkatan konsistensi, produktivitas, dan kualitas panen. Selain itu, mereka menggunakan lebih sedikit sumber daya yang akhirnya juga meningkatkan keuntungan mereka," tambah Amrit.

Ke depannya, Beleaf akan menawarkan layanan end-to-end 'Farming as a Service' yang lengkap: dari operasi, distribusi yang menghubungkan petani, distributor, dan retailer dalam satu ekosistem terintegrasi.

Model ini diharapkan dapat menjawab tantangan Indonesia, yang meskipun merupakan negara agraris, namun masih belum berhasil mengoptimalkan potensi pertanian dan masih bergantung pada impor pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, besar pasar buah dan sayuran Indonesia saat ini mencapai 33 miliar dolar AS, dengan peluang pertumbuhan menjadi 56 miliar dolar AS pada tahun 2026. Di sisi lain, biaya pertanian diperkirakan akan terus meningkat akibat meningkatnya biaya input, adopsi teknologi yang buruk, kurangnya tenaga kerja pertanian, dan logistik yang tidak efisien.

Beleaf berupaya mengatasi tantangan ini dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian, mengurangi biaya infrastruktur, dan mengurangi biaya usaha pertanian untuk mencapai harga yang kompetitif untuk sayuran dan buah-buahan lokal.

Beleaf saat ini bekerja dengan 14 perkebunan di Jawa Barat dengan luas cakupan lebih dari 80 hektar dan produksi lebih dari 70 ton produk segar per bulan. Merek sayuran dan buah-buahan Beleaf juga memasok ke 15 supermarket dengan 110 gerai, 8 platform e-commerce, dan 11 gerai restoran.

Baca juga: "Startup agritech" CROWDE dampingi petani cabe hingga panen

Baca juga: Pupuk Indonesia dukung pengembangan ekonomi digital sektor pertanian

Baca juga: TaniHub sebut pendapatan naik 639 persen berkat pandemi

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022