Kupang (ANTARA) - Tangan lelaki itu sesekali menyapu keringat di wajah ketika sedang duduk sambil merapikan sejumlah barang di dalam sebuah rumah di bilangan Oebelo, Kabupaten Kupang, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.

Di salah satu sisi ruangan, terdapat sembilan alat musik tradisional Sasando berjejer rapi di atas dan di dalam sebuah etalase dari kaca setinggi sekira 1 meter.

Alat musik yang terbuat dari bambu dan anyaman daun lontar itu adalah hasil kerajinan tangan Djitron Pah (38). Ia sengaja memajang Sasando-Sasando itu sebagai barang jualan untuk disuguhkan bagi setiap pengunjung di tempat berjualan yang dinamai Rumah Sasando.

Sasando merupakan alat musik tradisional dari Kabupaten Rote Ndao yang dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari-jari tangan. Alat musik itu memiliki bagian utama berupa tabung panjang seperti harpa yang terbuat dari bambu serta mempunyai ruang resonansi suara.

Alat musik berdawai ini terbuat dari sejumlah bahan baku dari alam, seperti kayu, daun lontar, dan bambu khusus.

Sasando dimainkan untuk mengiringi nyanyian, syair, tarian tradisional, dan menghibur keluarga yang berduka. Dalam perkembangan, juga dimainkan untuk menyambut atau menghibur tamu-tamu penting.

Saat ini Sasando tidak hanya terkenal dan terdapat di daerah Rote Ndao, namun juga daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), seperti Kupang, Labuan Bajo, dan daerah lainnya.

Keahlian Djitron Pah dalam membuat dan memainkan Sasando adalah hasil tempaan dari almarhum sang ayah Jeremias August Pah yang mewariskan Rumah Sasando untuk dia bersama delapan saudara.

Meneruskan Rumah Sasando, bagi lelaki kelahiran Kupang, 26 Juni 1984 itu, tidak sekadar meneruskan usaha keluarga yang ditinggalkan ayah sejak 1995, namun sekaligus menjagai warisan budaya para leluhur yang bernilai estetika tinggi.

Ia menyadari pentingnya regenerasi pemain musik Sasando, sehingga ia pun menyempatkan waktu di sela kesibukan dengan mengajar cara membuat dan memainkan Sasando bagi sanak saudara atau kenalannya.

Bagi Djitro Pah, Sasando harus terus diproduksi dan dimainkan dari generasi ke generasi.

"Karena hanya itulah cara melestarikannya," ujarnya saat ditemui di Kupang.

Selain merawat nilai budaya lewat memainkannya, produksi Sasando juga dijual sebagai sumber pendapatan untuk mendukung perekonomian Djitron Pah dan keluarga.

Upaya promosi yang dilakukan secara daring telah mengantar penjualan Sasando menembus hingga pasar internasional, seperti Jerman, Australia, dan Meksiko.

Djitron Pah menjual alat musik Sasando dengan harga bervariasi untuk dua versi, yaitu elektrik dengan harga di atas Rp3,5 juta dan versi akustik berkisar Rp600.000-Rp1.500.000 per unit. Nilai penjualan dalam sekali pemesanan dapat menembus hingga belasan juta rupiah.


Terus promosi

Dalam berbagai kesempatan, upaya promosi alat musik Sasando terus dilakukan dengan menampilkannya di berbagai acara, seperti pertemuan, festival, konser musik, dan sebagainya.

Djitron Pah sering kali tampil memainkan Sasando dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan pemerintah maupun luar pemerintah. Ia pun pernah tampil memainkan musik Sasando di stasiun televisi.

Selain promosi secara langsung, musik Sasando juga disuguhkan ke masyarakat secara luas melalui dengan memanfaatkan berbagai jejaring media sosial.

Langkah itu yang juga dilakukan Djitron Pah, sehingga musik Sasando mampu menaik minat pembeli dari berbagai negara.

Ia mengaku senang alat musik Sasando juga dimainkan orang lain dalam berbagai ajang di tingkat lokal, nasional, maupun pertemuan-pertemuan besar yang menghadirkan orang-orang penting atau pemangku kebijakan di tingkat dunia, seperti di ajang Sherpa G20.

Beberapa waktu lalu, musik Sasando juga ditampilkan dalam kegiatan Festival 1.000 Sasando di Labuan Bajo yang dihadiri Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

Semakin masif promosi dilakukan, maka membuat Sasando akan semakin dikenal berbagai kalangan masyarakat luas sebagai produk budaya yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Ketika promosi musik Sasando terus dilakukan maka dapat memberikan dampak ikutan, seperti menarik minat kunjungan wisatawan hingga bisa menggerakkan perekonomian di daerah.


Diakui dunia

Musik Sasando sempat menjadi bahan perbincangan kalangan pemerintah dan masyarakat luas karena diklaim sebagai milik negara lain.

Namun, klaim itu terbantahkan oleh pernyataan World Intellectual Property Organization (WIPO), salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengakui bahwa alat musik Sasando merupakan produk Kekayaan Intelektual milik NTT atau Indonesia.

WIPO telah mengakui bahwa benar Sasando merupakan produk kekayaan intelektual dari Indonesia setelah delegasi yang dibawa Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Josef Nae Soi menampilkan Sasando di Jenewa, Swiss, pada September 2022.

Pengakuan itu menegaskan bahwa musik Sasando sebagai produk kekayaan intelektual yang berasal dari Indonesia, khususnya dari NTT.

Nae Soi mengatakan pengakuan itu dari organisasi dunia yang berwenang, sehingga memperkuat status kepemilikan Sasando sebagai produk budaya asli orang NTT.

Dengan demikian dunia sudah mengakui Sasando milik Indonesia, khususnya orang NTT, sehingga tidak bisa diklaim oleh negara lain.

Ia mengatakan akan datang kembali ke Jenewa pada November 2022 sebagai perwakilan Indonesia untuk mengambil sertifikat sebagai bukti pengakuan dari WIPO terhadap musik Sasando.

Bagi Nae Soi, klaim kepemilikan itu sebagai pengingat bagi pemerintah dan masyarakat, terutama generasi muda, agar tetap menjaga dan melestarikan Sasando.

Seperti harapan Djitron Pah, musik Sasando harus tetap dilestarikan dengan terus diproduksi dan dimainkan setiap generasi, sehingga tetap menjadi karya budaya unik kebanggaan orang NTT.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur terus menjaga kelestarian musik Sasando dengan melibatkan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok musik untuk tampil dalam berbagai acara pemerintah.

Selain itu fasilitasi bagi usaha produksi Sasando terus dilakukan agar  bertumbuh di masyarakat dengan menyediakan layanan izin berusaha yang mudah dan cepat.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022