Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Timor Leste, Jose Ramos Horta, menegaskan bahwa situasi di Timor Leste saat ini sangat aman dan damai, meski diakui ada masalah politik yang cukup serius mengenai status sekitar 600 orang yang bermasalah di angkatan bersenjatanya. "Tak ada tembak-menembak di Dili. Tak ada yang lari ke Timor Barat dan masuk hutan untuk angkat senjata," tegasnya kepada ANTARA News di Jakarta, Selasa. Ramos Horta mengatakan, ada berita di media internasional, termasuk di Indonesia, mengenai terjadinya kericuhan di Timor Leste. Komandan militer Indonesia di Kupang melaporkan 300 orang tentara Timor Leste angkat senjata di jalan-jalan, dan 300 lainnya masuk ke hutan-hutan. "Kadang-kadang saudara-saudaraku di media di Indonesia dan juga beberapa media internasional, memiliki imajinasi yang berlimpah. Itu total omong kosong," tegasnya Semua orang di Timor Leste dan Dili, lanjutnya, tahu bahwa berita itu tidak benar. Horta mengemukakan, setiap akhir pekan suka naik sepeda sendirian keliling kota, termasuk ke jalan-jalan di setiap pelosok. "Sepenuhnya aman tenteram. Tapi, pada saat yang sama, ada wacana di media di Indonesia dan internasional mengenai keadaan hampir perang saudara di Dili dan ratusan orang, bukan satu-dua, mengungsi ke Timor Barat," katanya. Ia kembali menegaskan bahwa tak ada tembak menembak di Dili. Saat para mantan tentara itu berdemosntrasi di depan Istana Kepresidenan, lanjutnya, hanya terjadi kerusakan yang tak signifikan. "Sebanyak 20 rumah rusak, 19 jendela, 12 pintu rusak. Saya ceritakan fakta ini sebenarnya berdasarkan laporan polisi kepada saya. Rumah-rumah itu tidak hancur total, hanya pintu dan jendelanya saja yang rusak," ujarnya. Mengenai adanya laporan intimidasi terhadap Warga Negara Indonesia (WNI), Horta menegaskan tak ada satupun orang Indonesia yang terluka dan disakiti. Di Dili saja ada sekitar 1.500 WNI, dan mereka bekerja sebagai pedagang, tukang kebun, dan pekerja sektor informal lainnya. Toko-toko besar di Dili, 90 persen dimiliki oleh WNI, terutama berasal dari Surabaya. "Tak ada satu orang WNI yang terluka. Satu-satunya orang asing yang terluka adalah warga negara Thailand, tapi bukan karena insiden itu, melainkan alasan yang tak ada kaitannya dengan kerusuhan itu," ujar penerima Nobel Perdamaian itu. Ia mengakui bahwa ada masalah dengan 600 orang desertir tentara itu, tapi bukan dalam kaitan dengan pembangkangan seperti yang dilaporkan media internasional. Horta menceritakan bahwa mereka direkrut tahun 2002 sebagai tenaga kontrak untuk bekerja selama dua tahun. Ketika PBB selesai bertugas di Timor Leste, ada perpanpanjangan terhadap kontrak tersebut. Banyak dari mereka frustasi karena tak ada kejelasan mengenai status mereka. Banyak diantaranya tidak ingin menjadi tentara lagi, banyak juga yang ketika minta cuti liburan, mereka kembali satu pekan kemudian, bahkan ada yang kembali dua hingga tiga bulan kemudian. "Itu seringkali terjadi. Kasus tidak dispilin seperti itu bukan barang baru. Hanya, karena mereka tidak ingin terus bekerja di ketentaraan. Itu saja," katanya. Menurut Horta, semua itu terjadi karena di Timor Leste semuanya baru, termasuk di dinas ketentaraan banyak adminstrasi yang tidak berfungsi. Oleh karena, ia menilai, tidak adanya aturan dan hukum yang bisa menegaskan status mereka, maka sering terjadi mereka yang liburan tidak kembali, lalu ada yang mengadu kepada pemerintah dan pemerintah lambat merespon. "Kemudian mereka ingin ketemu Presiden Xanana Gusmao beberapa bulan lalu. Secara damai mereka ke Istana," katanya. Saat berdemonstrasi itu, menurut Horta, tak ada senjata, dan mereka menunggu beberapa jam untuk bertemu Presiden Xanana, yang kemudian meminta mereka kembali ke markas, dan mereka pun kembali ke markas. Kemudian, Angkatan Bersenjata Timor Leste membentuk komisi untuk mengatasi pengaduan para tentara itu. "Tapi, mereka menolak. Mereka tidak setuju dengan komisi yang dibentuk Angkatan Bersenjata. Mereka ingin komisi yang sepenuhnya independen dari luar. Mereka mengatakan, tidak percaya dengan komisi yang dibentuk Angkatan Bersenjata," cerita Horta. Kesimpulannya, dari 600 tentara yang ikut unjuk rasa itu, sebanyak 400 orang kembali bertugas di markas dan 200 lainnya kini berada di tempat pengungsian di kota Dili. Mereka menunggu pemerintah menegaskan status mereka. "Tak ada yang pegang senjata. Tak ada yang melarikan diri ke Timor Barat. Tak ada yang lari ke hutan untuk angkat senjata. Begitulah situasinya," kata Horta. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006