Bintan, Kepulauan Riau (ANTARA) - Hujan deras menyapa rumah panggung di ujung Desa Berakit, Kabupaten Bintan. Seorang pria paruh baya terbangun dari lelap, ketika angin kencang membawa percikan air dari pintu dan celah jendela rumahnya.

Ali Wardana, pria yang tinggal di sebuah rumah panggung yang dibangun pada 1908 itu, segera menutup pintu dan jendela, kemudian duduk di lantai papan yang diselimuti karpet plastik berwarna cokelat.

Ia sudah tinggal di rumah panggung itu sejak lahir sekitar 40 tahun lalu, dan tidak pernah sekalipun mendapati ada kerusakan serius pada rumah yang usianya, bahkan sudah lebih dari 2,5 kali lipat umur Ali.

Di halaman rumah bernomor 45 itu, puluhan pohon kelapa seolah menari diayun angin kencang yang sedari pagi tidak berhenti. Pohon-pohon itu juga unik lantaran menjadi bagian dari sejarah semakin menuanya bangunan itu. Bahkan, ada pohon yang seusia dengan rumah panggung tersebut.

Ali Wardana, satu-satunya pria yang tinggal di rumah itu menemani ibu dan adik perempuannya. Hingga rumah berwarna kuning muda itu menjadi saksi bisu kisah perjalanan hidup Ali bersama Rahimah (65) dan Rudini (15).

"Saye (saya) betah tinggal di rumah ini," ucap pria berambut panjang itu, ketiak ditemui ANTARA.

Ali yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional, melaut tidak hanya menangkap ikan, melainkan cumi. Merawat rumah panggung seperti itu seperti memelihara rumah sendiri.

Benar, bahwa rumah itu bukan milik pribadinya. Ali juga bukanlah pewaris, namun ia dan keluarganya telah bertekad menjadi pelestari rumah yang menjadi simbol budaya masyarakat setempat.

Ada masa ketika ia harus melakukan renovasi kecil pada beberapa bagian rumah panggung penuh sejarah itu, misalnya pada 2010 ia sempat harus mengganti atap rumah yang lapuk tanpa mengubah bentuk.

Ia dan keluarganya juga memperbarui cat pada dinding rumah itu yang mulai usang dengan warna yang sama, kuning gading.
Ibu dan adiknya pun punya pemikiran yang sama untuk melestarikan rumah itu sampai akhir hayat agar generasi muda tetap bisa menggali sejarah peradaban Melayu di rumah tua yang mereka tinggali.


Sering dikunjungi

Siapapun yang berkunjung ke Desa Berakit akan sangat mudah untuk menemukan rumah panggung tersebut. Meskipun sekilas tidak ada yang istimewa dari rumah papan itu pada kesan pertama siapa saja yang melihat.

Namun sejak awal September 2022, Ali jadi kerap menerima tamu. Mereka yang datang sebagian besar petugas berasal dari pemerintahan di Kabupaten Bintan dan Kepulauan Riau.

Pernah peniliti dari kampus dan jurnalis dari berbagai media massa ternama juga silih berganti mewawancarainya. Pertanyaan yang disampaikan berhubungan dengan rumah yang dihuninya itu.

Rumah dengan lebar 7 meter dan panjang 12 meter itu merupakan peninggalan dari kakek buyutnya. Namun rumah yang memiliki enam ruangan dan 66 tiang pondasi itu tidak diwariskan kepada keturunan pria, melainkan kepada Hasnawati, bibinya yang sejak dulu tinggal di Jakarta.

Hasnawati pun jarang mengunjungi rumah yang dindingnya menggunakan papan terpasang vertikal. Orang Melayu menyebut rumah dengan dinding papan yang disusun vertikal itu sebagai "papan tindih kasih".

Orang-orang di Bintan menyebutnya rumah tua. Dan lantaran sudah semakin dikenal di berbagai kalangan, bahkan wisatawan, Ali mulai membuka rumah tinggalnya untuk para tamu. Mereka yang datang diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah.

Pria itu mengaku tidak begitu paham tentang sejarah rumah berbentuk limas itu. Sejarah Rumah Tua itu lebih ditekuni Abdullah, paman dari Ali.

Abdullah juga sampai sekarang terus menggali jejak sejarah keluarganya yang membangun Desa Berakit, dimulai dari Rumah Tua itu.

Abdullah yang sehari-hari bekerja di Dinas Pariwisata Bintan mengatakan Rumah Tua itu dibangun oleh buyutnya bernama Haji Jalil. Haji Jalil sendiri merupakan keturunan etnis Tionghoa, yang merantau bersama tiga putranya, Haji Akob, Haji Muhammad Nuh dan Muhammad Ali ke Pulau Daik, Kabupaten Lingga, pada awal tahun 1900.

Dari Daik, ia bersama anak-anaknya mendayung sampan menuju Bintan untuk membuka usaha. Tahun 1908, Haji Jalil mulai menyicil mendirikan sebuah rumah panggung, tepatnya di utara Bintan, yang kini dikenal Desa Berakit.

Akob setelah dewasa menikah dengan Atut, yang dikaruniai empat anak, Hajah Kalsum, Haji Nikmat, Haji Usman, dan Muhamad. Kala itu usaha Akob yang diwarisi ayahnya berkembang pesat.

Akob menjadi juragan kopra, yang kaya raya. Kopra dari perkebunan Akob di Berakit dijual hingga ke Malaysia dan Singapura.

Akob di usia sekitar setengah abad, tepatnya 1942, dibunuh oleh perampok. Akob dalam kisah heroiknya ditembak oleh perampok setelah berhasil menikam pimpinan dari tujuh orang perampok dengan kerisnya. Dalam perkelahian itu, Muhamad yang baru berusia 9 tahun juga dibunuh oleh perampok.

Keris dan dua tombak itu masih tersimpan di Rumah Tua, termasuk puluhan talam yang berbuat dari kuningan. Keris khas Melayu itu tidak dipajang, namun disimpan di salah satu ruangan.

Tombak sepanjang sekitar 2 meter juga terdapat ukiran yang unik, namun belum diketahui asal-muasal tombak dengan kepala berkarat tersebut.

Abdullah merupakan putra dari Haji Nikmat. Hajah Kalsum, kakak kandung dari Haji Nikmat, kemudian menikah dengan Haji Abdul Salam, yang merupakan batin (penghulu) pertama di Desa Berakit. Dari pernikahan Kalsum dan Abdul Salam lahir Hasnawati yang saat ini tinggal di Jakarta, Abdul Jalil (almarhum), dan Rahimah (ibu dari Ali Wardana).

Pewaris rumah itu adalah Hasnawati, karena dianggap lebih dekat dengan orang tua dan dapat menjaga rumah.

Catatan buku pernikahan yang ditulis Abdul Salam di era penjajahan Belanda disimpan Abdullah. Tradisi turun-temurun yang sampai sekarang masih dilakukan, yakni Kenduri Rumah Tua Melayu setelah Salat Idul Fitri, yang diikuti oleh warga sekitar. Dalam tradisi itu dikenal istilah "duduk sama bersila, temu lutut".


Cagar Budaya

Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad menetapkan rumah yang ditempati Ali Wardana bersama ibu dan adiknya sebagai cagar budaya. Rumah Tua berusia sekitar 114 tahun itu kemudian diberi nama Rumah Melayu, ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 1061 tahun 2022 tertanggal 2 September 2022.

Pada surat itu juga gubernur menetapkan Bukit Kerang di kawasan Kawal, Kecamatan Gunung Kijang, sebagai situs cagar budaya.

Ansar mengatakan penetapan Rumah Melayu di Desa Berakit sebagai bangunan cagar budaya tidak mengusik para pewarisnya. Namun rumah itu harus dijaga, sehingga nilai historis dari bangunan itu tetap terpelihara.

Nilai sejarah Melayu dalam lingkaran rumah itu memberi nilai tambah tersendiri terhadap tujuan wisata di Bintan.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata Kepri Luki Zaiman Prawira mengatakan Rumah Melayu di sudut Desa Berakit tersebut merupakan destinasi wisata yang menarik. Rumah Melayu itu akan menambah minat wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara mengunjungi Bintan.

"Kami akan promosikan sehingga dikenal lebih luas," ucapnya.

Kepala Dinas Pariwisata Bintan Arif Sumarsono menuturkan pariwisata di Bintan sebelum pandemi COVID-19 merupakan sektor andalan yang memberi kontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan asli daerah.

Sejak awal 2022, Bintan mulai membenahi sektor pariwisata yang terkena dampak pandemi, dengan melakukan berbagai kegiatan pariwisata, seperti baru-baru ini ada "Tour de Bintan".

Pembenahan sektor pariwisata, antara lain berhubungan dengan tempat tujuan wisata. Objek wisata di Bintan perlu diperluas, tidak hanya berbasis pesisir, melainkan juga daratan, budaya dan olahraga.

Penetapan Rumah Melayu sebagai cagar budaya diyakini akan meningkatkan daya tarik wisatawan berkunjung ke Bintan.

Dinas Pariwisata Bintan berupaya mendorong agar kawasan Rumah Melayu menjadi objek wisata yang menarik dikunjungi wisatawan.

"Kebijakan yang kami ambil tentunya harus mendapat persetujuan dari ahli waris rumah itu," ucapnya.

Ali Wardana yang menghuni rumah cagar budaya mengatakan Rumah Melayu itu merupakan warisan dari buyutnya, sehingga tidak akan dijual. Ali dan anggota keluarga berupaya menjaga dan melestarikan rumah tersebut.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022