Jakarta (ANTARA) - Lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik Ombudsman RI meminta pemerintah untuk melakukan tindakan korektif terkait malaadministrasi dalam menangani kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menimpa anak-anak di Indonesia.

"Akuntabilitas harus ditunjukkan tidak selalu berujung pada pemberhentian, tidak selalu berujung kepada sanksi yang sifatnya abstraktif, tetapi koreksi atas kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan itu menjadi sangat penting," kata Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Jakarta, Selasa.

Ombudsman mengungkapkan adanya potensi malaadministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai layanan kesehatan obat sirop yang menyebabkan gangguan ginjal akut progresif atipikal.

Robert menuturkan Kementerian Kesehatan tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit mulai dari tingkat kabupaten maupun kota, provinsi, dan pusat, sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan kasus gangguan ginjal akut tersebut.

Baca juga: Ombudsman minta pemerintah hadirkan data valid gangguan ginjal akut

Atas ketiadaan data, lanjut dia, Kementerian Kesehatan tidak dalam melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut. Hal itu dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait kasus tersebut.

Kemudian, standarisasi pencegahan dan penanganan kasus yang belum ada di seluruh pusat pelayanan kesehatan menyebabkan belum terpenuhinya standar pelayanan publik termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.

"Itu potensi malaadministasi pada Kementerian Kesehatan," kata Robert.

Sementara itu, potensi malaadministasi BPOM terkait pengawasan pre-market (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) serta post-market control (pengawasan setelah produk beredar).

Dalam hal pengawasan pre-market, Ombudsman menilai BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).

Selain itu, Ombudsman juga menilai ada kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan. Tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar wajib dimaksimalkan oleh BPOM.

Baca juga: Ombudsman dorong penetapan kejadian luar biasa gangguan ginjal akut

Sedangkan menangani potensi malaadministasi post-market control, Ombudsman menilai dalam tahapan itu perlu adanya pengawasan BPOM pascapemberian izin edar.

Pada poin potensi malaadministasi selanjutnya Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.

"Kami meminta pemerintah untuk serius menanggapi ini sebagai bentuk tindakan korektif mereka, paling tidak hak atas informasi itu terpenuhi, penjelasan dan sosialisasi yang masif harus dilakukan, dan kemudian juga harus ada langkah-langkah luar biasa yang dilakukan," kata Robert.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga Senin (24/10), jumlah gangguan ginjal akut mencapai 251 kasus yang berasal dari 26 provinsi di Indonesia.

Sekitar 80 persen kasus terjadi di Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara. Persentase angka kematian sekitar 56 persen atau sebanyak 143 kasus. Penambahan 6 kasus, termasuk 2 kematian, yang dilaporkan bukanlah kasus baru.

Pemerintah telah mendatangkan obat antidotum Fomepizole dari Singapura dan Australia yang masing-masing sebanyak 26 vial dan 16 vial.

Baca juga: Menkes: Obat gangguan ginjal akut diberikan gratis kepada pasien

Obat itu akan diimpor kembali sebanyak ratusan vial dari Jepang dan Amerika Serikat untuk didistribusikan ke rumah sakit rujukan pemerintah. Masyarakat bisa mendapatkan penawar itu secara gratis.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022