Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disarankan agar kebijakan pemerintahannya di sektor pertambangan migas dan non-migas memberikan prioritas bagi pelaku usaha dalam negeri untuk mengelola areal pertambangan. "Blok Cepu bisa menjadi langkah awal untuk menjadikan bangsa Indonesia tuan di rumah sendiri dengan menetapkan Pertamina sebagai operatornya," demikian masukan yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang diterima wartawan seusai dilaksanakannya pertemuan di rumah mantan Wapres Try Sutrisno, di Jakarta, Rabu. Masukan itu diberikan oleh Try Sutrisno, Wiranto, Amien Rais, Marwah Daud Ibrahim, Dradjad H Wibowo, Alvien Lie, Marwan Batubara, Ismed Hasan Putro, dan Chandra T Wijaya. Masukan kepada Presiden itu juga diberikan kepada wartawan setelah mereka tidak jadi bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Awalnya pertemuan dilaksanakan pada 17 April 2006 pukul 14.00 WIB setelah pada tanggal 17 Maret 2006 lalu disampaikan surat permohonan bertemu. Menurut Ketua FPAN DPR Dradjad H Wibowo, karena ada pemberitahuan penundaan pertemuan namun dengan waktu yang tidak jelas, maka Try Sutrisno menyampaikan surat kepada Presiden tentang pembatalan permohonan pertemuan itu, sekaligus menyampaikan masukan secara tertulis. Masukan lain yang disampaikan kepada Presiden adalah renegosiasi kontrak pertambangan Freeport yang sangat mendesak dilaksanakan, sehingga penerimaan negara bisa lebih besar, masyarakat Papua memperoleh manfaat maksimal, dan kerusakan lingkungan dapat dikendalikan. Selanjutnya juga disarankan agar diamandemen UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, dengan penekanan pada pembangunan perusahaan milik negara di bidang minyak dan gas bumi yang besar dan mampu bersaing di tingkat global sebagaimana Petronas di Malaysia. Juga diminta agar rekening Migas di Departemen Keuangan dibuat terkonsolidasi, akuntabel dan transparan. Selain itu, hasil penjualan Migas tidak perlu lagi masuk ke Depkeu terlebih dahulu. Sementara mekanisme perpajakan di sektor Migas sebaiknya disempurnakan agar tidak ada lagi area abu-abu seperti `deductible expenses` dalam cost recovery yang selama ini menjadi ladang bagi praktek-praktek yang merugikan negara.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006