Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Kandungan dan Ginekologi dr. Cindy Rani Wirasti, Sp.O.G. menyatakan bahwa potensi penularan virus human papillomavirus (HPV) di Indonesia akan semakin banyak  karena adanya pergeseran budaya yang lebih bebas.

“Penyakit kanker serviks tidak pandang bulu, mau ekonomi seseorang itu rendah atau tinggi karena gejalanya yang tidak terlihat,” kata Cindy dalam Kelas Jurnalis Pencegahan Kanker Serviks yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Menanggapi kanker serviks banyak terjadi pada kalangan masyarakat atas, Cindy menyatakan bahwa pergeseran budaya yang cenderung lebih bebas dan menentang nilai-nilai moral, memicu banyaknya hubungan seksual yang dilakukan sebelum menikah pada usia yang lebih muda. Seks bebas itu juga dilakukan oleh pasangan sesama jenis.

Perilaku seksual tersebut membuat hubungan terlarang lebih leluasa untuk dilakukan dan dimaklumi. Padahal, laki-laki juga dapat menjadi pembawa (carrier) virus karena riwayat seksualnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.

Baca juga: Ksatria Airlangga baksos deteksi dini kanker servik di Lamongan-Jember

Baca juga: BKKBN upayakan vaksin HPV jadi bagian skrining wajib pranikah


Cindy menekankan virus HPV merupakan virus umum yang dapat menyerang semua pihak. Jika virus HPV menjadi penyebab utama perempuan terkena kanker serviks, maka virus itu membuka potensi bagi laki-laki untuk terkena kutil kelamin, kanker orofaring, kanker penis atau kanker anal.

“Kondisi kita sekarang sangat berbeda, kalau dulu kita akan menjauhi orang dengan kelainan seksualitas (gay), kalau sekarang kita tetap berteman akhirnya hubungan sesama jenis meningkat, kalau penularan HPV meningkat, biaya BPJS meningkat akhirnya tanggungan negara sangat tinggi,” katanya.

Menurutnya, perilaku seksual tidak ada kaitannya dengan tingkat perekonomian seseorang, namun lebih erat kaitannya dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga menyebabkan masyarakat sulit untuk memahami informasi terkait kesehatan reproduksi ataupun hal-hal seputar kanker serviks.

Sebab, jabatan atau kedudukan seseorang juga tidak dapat dijadikan sebagai patokan terkena atau tidaknya kanker serviks pada seseorang. Contoh yang dirinya sebutkan, di lapangan telah ditemukan kasus kanker serviks pun bisa menyerang tokoh agama sekalipun.

“Ini sifatnya personal tapi yang harus dipahami bahwa kanker serviks adalah tidak pandang bulu, pendidikannya apa, status sosialnya apa, maupun ekonominya,” ujar Cindy yang berpraktik di BIC Executive RSIA Bunda Jakarta itu.

Anggota Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) itu mengimbau agar masyarakat menjaga pola hidup yang sehat, serta tidak sembarang melakukan aktivitas sosial.

Sementara sebagai upaya pencegahan dini, ia meminta pada semua sekolah dan orang tua untuk segera memberikan anak-anak perempuan yang duduk di kelas 5-6 SD vaksin HPV agar menurunkan angka kejadian kanker serviks.

“Vaksinasi HPV itu membuat tubuh membentuk antibodi terhadap virus HPV, sehingga tidak sampai menimbulkan kanker serviks serta kulit kelamin. Vaksin HPV dapat diberikan kepada utamanya perempuan, namun juga bisa laki-laki yang keduanya dapat diberikan mulai usia sembilan tahun,” ujarnya.*

Baca juga: Keputihan tidak biasa bisa jadi gejala kanker serviks

Baca juga: Kapan anak perempuan perlu diberi vaksin HPV?


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022