Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) menilai pertemuan G20 yang berlangsung di Bali harus melahirkan kesepakatan strategis terkait ketersediaan pangan dengan meningkatkan kerja sama bilateral dalam mengantisipasi ancaman krisis pangan global.

"Kesepakatan antarnegara harus dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan ke depan. Fungsi kerja sama bilateral harus ditingkatkan lagi," kata Dosen Fakultas Pertanian Unpad Ronnie S Natawidjaja dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo juga menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam banyak negara di dunia. Kolaborasi memungkinkan memitigasi dan mengatasi triple krisis yaitu krisis energi, pangan, dan keuangan.

Mentan Syahrul menjelaskan sebagai bagian dari komunitas global, G20 berkomitmen mendukung peran krusial dari sektor pertanian dalam menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang. Selain itu juga menjamin pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca juga: RI ajak anggota G20 berkomitmen hadapi tantangan pangan global

Mentan berulangkali menegaskan kunci mengatasi krisis pangan global adalah kebersamaan. "Tidak boleh ada negara yang terlewatkan dan tertinggal, kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang," katanya.

Ronnie menjelaskan kerja sama bilateral itu bisa diwujudkan dalam sistem barter dengan masing-masing negara memberikan yang terbaik yang dimiliki.

"Misal, Indonesia banyak produksi buah, lalu Australia banyak memproduksi gandum. Ini bisa saling tukar, barter. Jadi stok pangan aman dan harga pun bisa dikontrol," katanya. 

Indonesia, lanjutnya, tak perlu memaksakan diri untuk menghasilkan komoditas tertentu yang memang tidak bisa diproduksi secara maksimal. Sebaliknya Indonesia mesti meningkatkan potensi yang ada untuk kemudian dijadikan komoditas unggulan.

Baca juga: Delegasi G20 dukung tiga isu pokok bidang pertanian usulan Indonesia

Ronnie mengambil contoh komoditas kedelai yang berpengaruh dari faktor geografis yaitu penyinaran matahari, yang membuat produksi kedelai nasional tidak mampu mengimbangi produksi kedelai dari China.

"Kedelai kita itu wangi dan bulirnya besar. Tapi butuh penyinaran yang lama. Penyinaran bisa dibantu oleh penggunaan lampu di green house, tapi dijualnya jadi mahal nanti. Sudah kita pakai kedelai dari China, lalu kita kasih apa yang China butuhkan yang ada di kita. Itu namanya memaksimalkan potensi kerja sama bilateral," kata dia.

Ronnie juga menyebut komoditas gandum yang bisa didapat dari Australia bisa menjadi alternatif menyusul krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina dan membuat pasokan gandum ke Indonesia menjadi terhambat.

"Harganya pun naik 35 persen. Dan sepertinya akan naik lagi. Kita bisa minta Australia untuk support kebutuhan gandum kita," kata dia.

Baca juga: Harga gandum naik 5,5 persen, Rusia mundur dari perjanjian Laut Hitam

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022