Harus dibedakan mana politik uang dan mana yang tidak.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam merancang dan membuat peraturan mengenai kepemiluan harus menghindari terjadinya multitafsir.

Menurut dia, peraturan yang dibuat dengan praktik di lapangan terkadang dimaknai berbeda oleh petugas.

"Hal ini terjadi karena belum adanya kesamaan dan pemahaman dari jajaran pengawas pemilu di tingkat daerah," Guspardi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan bahwa kenyataan di lapangan sering ditemukan tindakan pengawas pemilu lebih garang dan melampaui wewenang.

Menurut dia, Bawaslu harus menyadari tujuan pembentukan lembaga tersebut agar kinerja di lapangan sebagai pengawas pemilu tidak melampaui kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Tujuan dari keberadaan Badan Pengawas Pemilu itu apa? Ini yang terkadang dalam praktiknya kurang dipahami dan cenderung kebablasan dimaknai petugas di lapangan," ujarnya.

Guspardi mengingatkan agar semua pihak harus mempunyai kesamaan tekad untuk menciptakan pemilu yang jujur dan adil (jurdil), demokratis, dan menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang.

Namun, menurut dia, perlu ada satu kejelasan dan kesamaan sikap petugas di lapangan dalam memaknai aturan yang telah ditetapkan Bawaslu agar jangan sampai menimbulkan dinamika yang kurang baik.

"Bagaimana petugas menafsirkan politik uang di lapangan? Misalnya, jika ada calon anggota legislatif (caleg) mengundang tim suksesnya dan memberikan uang sebagai pengganti transportasi. Harus dibedakan mana politik uang dan mana yang tidak," katanya.

Namun, lanjut dia, ketika ditemukan para caleg melakukan "serangan fajar" dengan membagikan uang kepada masyarakat menjelang hari pencoblosan, itu dapat dikategorikan sebagai politik uang dan harus ditindak secara tegas.

Oleh karena itu, dia menilai Bawaslu harus melakukan sosialisasi terkait dengan peraturan institusi tersebut secara masif dan tidak terbatas hanya kepada jajarannya di daerah, tetapi juga partai politik sebagai peserta pemilu, ormas, NGO, kelompok pemerhati pemilu, dan masyarakat.

"Hal ini perlu untuk bisa memberikan pemahaman yang sama berkaitan dengan peraturan dari tingkat pusat sampai ke akar rumput. Dengan demikian, tidak ada lagi beda tafsir yang menimbulkan perdebatan dan dinamika yang tidak diinginkan," katanya.

Sebelumnya, Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri dan lembaga penyelenggara pemilu  (KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP) menyetujui dua rancangan peraturan Badan Pengawas Pemilu Umum (perbawaslu) dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada hari Selasa (15/11).

"Komisi II DPR bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP menyetujui dua rancangan peraturan Bawaslu," kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi II DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (15/11).

Ia menjelaskan bahwa kedua rancangan perbawaslu terdiri atas Rancangan Perbawasku tentang Pengawasan Partisipatif dan Rancangan Peraturan Bawaslu tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pemantauan Pemilihan Umum.

Satu rancangan perbawaslu yang dibahas dalam RDP dan belum disetujui adalah Rancangan Perbawaslu tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Baca juga: Komisi II DPR minta pimpinan Bawaslu cermati dugaan KKN
Baca juga: Komisi II DPR sebut masih lakukan konsinyering Perppu Pemilu

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022