Jakarta (ANTARA News) - Minggu pagi (30/4), dalam cuaca cerah di Jakarta, Pramoedya Ananta Toer, salah seorang pujangga besar Indonesia, menghela nafas terakhirnya pada pukul 08.55 WIB, diiringi isak tangis keluarga dan sahabat-sahabat yang menungguinya selama berhari-hari. Pram sudah mengarungi hidupnya selama delapan dasawarsa lebih, membaktikan dirinya kepada bangsa melalui karya tulis yang lugas mengungkapkan kenyataan. Karya-karya tulisnya yang jujur dan senantiasa dibelanya bahkan ditukar dengan kemerdekaannya sebagai "Orang Bebas", ketika ia harus mendekam dalam tahanan selama 14 tahun tanpa pernah diadili secara terbuka untuk membuktikan kesalahannya. Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora pada 6 Februari 1925 dari pasangan Toer dan Saidah. Ayahnya seorang guru dan kepala sekolah sedangkan ibunya keturunan ningrat yang dibesarkan bukan oleh ibu kandungnya. Ia seorang putri bangsawan yang selalu dilayani oleh pembantu. Meskipun status sosial kedua orang tuanya cukup tinggi dan terpandang, keluarga Toer bukanlah keluarga yang kaya, sehingga ibunya mesti mengerjakan banyak pekerjaan rumah bahkan juga memelihara macam-macam ternak dan menerima jahitan untuk mencari tambahan penghasilan. Sejak kecil ibunya selalu mendidik Pram dan delapan adiknya dengan berulang-ulang mengingatkan agar mereka menjadi orang yang bebas merdeka dan bermartabat. "Saya tidak pernah meminta dan tangan ini tidak pernah `nyolong`," tutur Pram suatu hari pada tahun 2004 di rumah ladangnya yang terletak di Warung Ulan no 9, Bojong Gede, Bogor. Nasihat yang kuat dari Saidah itu pula yang membuat Pram tumbuh menjadi pria mandiri dan tidak pernah meminta-minta. "Bahkan pada Tuhan pun saya tidak meminta," katanya. Ibunya yang pandai mendongeng, membuat Pram "kecil" semula tidak menyukai sekolah sehingga pendidikan formal diselesaikannya dengan tertatih-tatih. Ayahnya bahkan sempat mengeluarkan Pram dari sekolah dan mengajarnya sendiri di rumah sampai Pram mampu mengejar ketertinggalannya di kelas. Pram juga mengingat dengan baik nasihat ayahnya yang menyatakan bahwa hidup adalah perjuangan, segala hal adalah pergulatan bahkan menonton wayang sekalipun. Pendidikan formalnya adalah sebagai teknisi radio, tetapi dalam perjalanan karirnya sebagai juru ketik di Kantor Berita Domei (pada masa pendudukan Jepang), Pram mendapat beasiswa untuk belajar stenografi. Dia belajar dengan gigih sehingga berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Sayangnya, ia merasa diperlakukan tidak adil karena ketika kembali masuk kerja, ia kembali menjadi juru ketik sementara teman seangkatan yang kelulusannya tidak lebih baik darinya, bisa mendapat posisi yang lebih baik karena mempunyai latar belakang pendidikan formal yang lebih tinggi. Pram mengamuk, sampai kemudian dia dipindahkan ke bagian kliping dan pengarsipan. Pram mengajukan permohonan pengunduran diri dan pulang ke Blora. Saat itu Indonesia baru merdeka dan ketika dalam perjalanan ia melihat bendera Merah Putih berkibar, Pram memutuskan untuk kembali ke Jakarta. "Saya ingin menikmati kemerdekaan" demikian tulis James R Rush tentang kisah hidup Pram. Pram yang namanya termasuk dalam daftar 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca, sejajar dengan John Steinbeck, Graham Greene dan Bertolt Brecht itu dalam perjalanan karirnya juga pernah bekerja sebagai penyunting di penerbit Balai Pustaka, antara lain menangani "Jalan Tak Ada Ujung" karya Moechtar Loebis. Ia dikenal telaten melakukan riset data kepustakaan maupun kunjungan lapangan. Maka tidak mengejutkan jika karya-karyanya begitu kuat mengangkat fakta sejarah misalnya tetralogi Buru yang berisi empat karya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Dalam tetralogi itu ia menghidupkan tokoh rekaan bernama Minke, yang mengambil sosok Raden Tirto Adhisuryo, sosok yang menjadi pelopor wartawan Jawa. Karya monumental lainnya adalah Arus Balik, Dedes-Arok, Panggil Aku Kartini Saja, Perburuan yang semuanya mengandung fakta sejarah termasuk Gadis Pantai, kisah biografi nenek Pram sendiri. Melalui karya-karya Pram pembaca dapat mengenal lebih dekat sang pujangga yang semasa hidupnya rajin mengunyah bawang putih untuk menjaga kesehatan itu. Masa kecil Pram dan potret lingkungan serta jamannya dapat dilihat melalui kumpulan cerita pendek "Cerita dari Blora" sedangkan hubungannya dengan sang ayah selain melalui Cerita Dari Blora juga tercermin pada "Bukan Pasar Malam". Sebagai sulung dari sembilan bersaudara, Pram sejak muda bertanggungjawab membantu adik-adiknya dan setelah ayahnya yang dijulungi "Singa Panggung" itu meninggal, ia mengajak tiga adiknya untuk tinggal bersamanya. Nasionalisme Pram pun tercermin dari berbagai tulisannya, namun, mungkin sudah nasibnya, sejak pemerintahan Belanda pun Pram sering keluar masuk rumah tahanan. Beberapa hari setelah melewati usia 79, Pram yang gelisah mengemukakan harapannya pada kaum muda Indonesia untuk mengubah haluan hidup dari gaya konsumerisme menjadi gaya hidup yang produktif. "Tirulah bangsa China yang produktif, jangan hanya jadi bangsa yang konsumtif," katanya. Pada ulang tahun ke 81, kembali Pram mengingatkan bahwa konsumerisme telah memicu korupsi yang meluas di Indonesia. Ia terlihat gemas mengamati kaum muda yang tidak juga segera sadar dan bangkit. "Sesudah Sumpah Pemuda 1928, tidak ada lagi gerakan pemuda yang monumental untuk bangsa ini," katanya. Pram menemukan jodoh yang pertama dengan seorang perempuan bernama Arfah Iljas yang sering menjenguknya ketika Pram ditahaan oleh Belanda tahun 1948 dan mereka menikah pada Desember 1949 ketika Pram dibebaskan. Dari Arfah, istri pertama Pram itu, ia memiliki tiga putri. Pada awalnya mereka hidup bahagia dan sempat bermukim di Belanda ketika Pram mendapat beasiswa untuk belajar ke Belanda. Namun ketika mereka kembali ke Indonesia, keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk sebagai imbas dari ekonomi negara yang terpuruk dan penghargaan bagi penulis pun tidak lagi tinggi. Pertengkaran suami-istri kerap terjadi. Arfah keberatan tinggal bersama tiga saudara Pram. Setelah tiga kali Arfah mengusirnya, Pram pun benar-benar angkat kaki dari rumah tersebut. Tak berapa lama kemudian Pram bertemu dengan Maimunah, gadis Betawi yang memiliki darah Inggris dan keponakan dari M.Husni Thamrin. Mereka pun menikah. Pram sangat menyayangi dan menghargai istrinya yang bersedia hidup menderita bersamanya sekalipun ia sendiri berasal dari keluarga yang berada. Ny. Maemunah memang membuktikan kesetiaannya, ketika ia harus berjuang menjadi orangtua tunggal bagi enam anaknya saat Pram kembali masuk bui termasuk masa-masa ia dibuang ke Pulau Buru. "Saya tidak tega melihat keadaannya," kata-kata itu diucapkan Ny Maemunah pada Kamis malam (27/4) ketika menunggu Pram dirawat di RS St Carolus, beberapa hari sebelum ia mengembuskan nafas yang terakhir. Pram telah berpulang, meninggalkan sembilan anak dan 16 cucu serta ribuan penggemarnya. "Bagi pengarang, sebaik-baik sekolahan adalah kehidupan dan modalnya hanya berani bergaul, pergaulan yang disadari, dipilih, dicoba dan dinilai," begitu salah satu kutipan dari Pram. Kerinduan Pram untuk memperoleh kembali rumahnya di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, yang dikuasai pemerintah Orde Baru ketika tentara menyerang dan menyeretnya ketahanan, tidak terpenuhi. Ia masih menyimpan rasa marah jika mengenang anak dan istrinya harus berjuang sendiri di tengah lingkungan yang mengecap mereka sebagai anak dari tokoh PKI, yang membuat mereka sulit diterima dalam pergaulan dan bahkan juga sulit mencari pekerjaan. Pram tidak pernah diadili atas tudingannya sebagai anggota PKI yang membuat ia harus menjalani tahanan dan pembuangan, buku dan naskahnya dibakar bahkan pada masa Orba buku karya Pram juga dilarang beredar. Karya-karya Pram sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa, menjadi bacaan utama pada beberapa fkultas sastra di luar negeri dan menempatkan Pram sebagai peraih berbagai penghargaan internasional termasuk Ramon Magsaysay dan diusulkan sebagai peraih nobel kesusastraan.(*)

Oleh oleh Maria D.Andriana
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006