Jakarta (ANTARA) - Prinsip keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain.

Konsep ini tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit.

Keswadayaan adalah kegiatan pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan yang harus mampu menumbuhkan inisiatif warga dalam pengambilan keputusan dengan penuh kehormatan dan tanggung jawab tanpa menunggu arahan atau dorongan dari pihak mana pun.

Keswadayaan dapat juga diartikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan penggalian potensi diri sendiri, para anggota dalam penyediaan dana dan sarana, serta pendayagunaan sumber daya guna terwujudnya kemandirian kelompok tani atau kelembagaan ekonomi petani dan lain sebagainya.

Dalam perjalanan dan perkembangan pembangunan petani, keswadayaan ini mutlak ditumbuhkan agar para petani dapat mandiri dan mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri.

Bantuan yang diterima sedapat mungkin menjadi faktor pemicu untuk melahirkan program dan kegiatan yang sifatnya produktif bagi para petani.

Paradigma keswadayaan petani, tentu saja tidak lepas kaitannya dengan arah dan kebijakan Pembangunan Petani yang diterapkan oleh pemerintah di negara ini.

Namun harus diingat juga bahwa jika pembangunan petani menjadi bagian dari pembangunan pertanian, jangan harap keswadayaan petani akan tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan.

Sebab idealnya, pembangunan petani menjadi kebijakan tersendiri yang dalam program dan kegiatannya harus melibatkan banyak sektor.

Penting dicatat bahwa pembangunan petani itu lebih banyak bersifat multi-sektor dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Jadi, akan menjadi keliru jika pembangunan petani menjadi bagian integral dari pembangunan pertanian.

Di negeri ini, selama puluhan tahun, pembangunan petani telah diposisikan sebagai bagian dari pembangunan pertanian.

Kebijakan yang demikian, cenderung bersifat sektoral. Apalagi, jika dalam pelaksanaannya, Kementerian Pertanian menjadi leading sector dari program tersebut. Sebab semua mahfum bahwa tugas dan fungsi instansi ini, salah satunya untuk meningkatkan produksi pertanian sebesar-besarnya.

Pemikiran awalnya, jika produksi pertanian dapat ditingkatkan, maka otomatis kesejahteraan petani yang menjadi tujuan utama pembangunan petani pun akan meningkat dengan sendirinya.

Sayangnya, pandangan seperti ini, rupanya sudah tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi yang berkembang saat ini, sehingga perlu ditelaah lebih dalam.


Kesejahteraan petani

Soal kesejahteraan petani, secara faktual tidak hanya ditentukan oleh peningkatan produksi hasil pertanian yang melimpah ruah. Namun masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya, salah satunya adalah faktor harga jual dari produksi yang dihasilkan para petani itu sendiri.

Sebab persoalan petani bukan terbatas pada masalah produktivitas atau lahan garap yang sempit, melainkan salah satunya soal pendapatan yang berdampak langsung pada kesejahteraan hidup mereka.

Inilah yang terjadi selama ini. Lihat saja dalam usaha tani padi. Produksi padi di Tanah Air betul-betul sangat membanggakan, sampai akhirnya mampu mencapai swasembada beras dan diakui keberhasilannya itu oleh lembaga riset dunia International Rice Research Institute (IRRI) yang memfokuskan diri kepada komoditas padi.

Naiknya produksi padi, bahkan mampu menjadi negeri yang berswasembada beras, ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani padi secara signifikan.

Dengan menggunakan ukuran Nilai Tukar Petani (NTP), meningkatnya produksi, tidak serta-merta diikuti oleh naiknya kesejahteraan petani padi.

Yang terjadi, tingkat kesejahteraan petani padi Indonesia berkisar antara 97 - 106. Ini yang sering menjadi perbincangan dan diskusi mendalam dari banyak pihak.

Ada apa sebetulnya dengan usaha tani padi di Indonesia? Bukankah jika bangsa ini mampu meningkatkan produksi pangan, maka para petani padi otomatis akan sejahtera.

Jawabannya jelas tidak. Selidik punya selidik, ternyata naiknya produksi tidak menjamin petani akan meningkat kesejahteraan hidupnya.

Selama petani tidak memiliki kekuatan tawar dengan para bandar atau tengkulak soal harga jual, maka selama itu pula petani hanya akan menjadi objek permainan bandar dan tengkulak.

Salah satu yang perlu dilakukan juga adalah penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan ekonomi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak agar petani dapat bersaing dan mandiri.

Desain kelembagaan petani harus dibangun dengan melakukan reorganisasi kelembagaan.

Penguatan kelembagaan petani inilah yang dapat dilakukan dengan pengembangan industrialisasi perdesaan berbasis pertanian dan pengembangan fasilitas permodalan perdesaan dan pasar.

Kehadiran negara, salah satunya diperlukan untuk merancang regulasi terkait dengan etika bisnis di sektor pangan yang selama ini cenderung menguntungkan tengkulak ketimbang petani.

Hadirnya etika bisnis yang berkeadilan di antara tengkulak dan petani, sepertinya kini mengemuka menjadi tuntutan mendesak untuk diwujudkan.

Hingga pada akhirnya terwujud upaya bersama memperkokoh keswadayaan petani, agar mestinya kekuatan tawar-menawar soal harga gabah atau beras, tentu akan terbangun dengan sendirinya dengan setara.

Kekuatan keswadayaan petani akan menyadarkan bandar dan tengkulak, untuk tidak menjadikan petani sebagai objek dari kepentingan mereka dalam meraup untung setinggi-tingginya.

Keswadayaan petani merupakan upaya nyata untuk menjadikan petani di negeri ini hidup secara lebih berdaya dan bermartabat.

Tugas pemerintah tetap harus memberi aturan yang senapas dengan terbangunnya keswadayaan itu sendiri.

Semua percaya, pemerintah tidak akan pernah membiarkan para petani hidup sengsara, sebaliknya petani harus sejahtera, adil, dan merata.

Keswadayaan petani yang berkualitas, setidaknya menjadi pintu masuk ke kehidupan petani yang bahagia.


*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.


 

Copyright © ANTARA 2022