bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris
Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah Indonesia agar lebih ambisius dalam menyusun target Nationally Determined Contributions (NDC) kedua yang dirilis pada tahun 2025 mendatang.

"Kami sangat mendorong adanya target yang lebih ambisius terutama nanti dalam penyusunan NDC 2025, second NDC," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa.

Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) dengan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca hanya sekitar 2 persen.

IESR yang merupakan anggota dari Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih tidak mencukupi untuk mencegah kenaikan suhu global 1,5 derajat Celsius.

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29 persen di dokumen NDC yang diperbaharui menjadi 31,89 persen pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41 persen menjadi 43,2 persen.

Baca juga: Wamen LHK soroti peran penting sekolah untuk mencapai target iklim
Baca juga: Perusahaan multinasional dukung target Indonesia emisi nol 2050

IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

Fabby menuturkan target penurunan yang ditetapkan dalam ENDC sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual pada tahun 2030.

Menurutnya, target penurunan emisi gas rumah kaca seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu.

"Untuk selaras dengan ambisi 1,5 derajat, maka sebenarnya level emisi Indonesia di 2030 paling tidak setara dengan emisi tahun 2010," ujarnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan, yakni sektor energi dan sektor hutan, serta lahan agar mencapai penurunan emisi yang signifikan.

Baca juga: Wamenkeu tegaskan pajak karbon instrumen capai target nol emisi 2060
Baca juga: KLHK: Target SGDs harus diwujudkan demi lingkungan dan peradaban


Sementara itu, Koordinator Climate Action Tracker IESR Delima Ramadhani mengatakan status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global.

"Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5 derajat Celsius,” kata Delima.

Dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61 persen di sistem energi Indonesia, imbuhnya, perlu dikurangi secara signifikan menjadi hanya 10 persen PLTU batu bara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.

"Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklim dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris," terang Delima.

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2 derajat Celsius, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius.

CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak tahun 2022.

Baca juga: Luhut tak ingin ulangi kesalahan negara maju sebabkan krisis iklim

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022