karena gema terus didengar di dalam sana akan dianggap benar
Jakarta (ANTARA) - Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengingatkan konsekuensi adanya fenomena ruang gema (echo chamber) yang dapat terjadi sehingga diperlukan kejelian dalam membaca informasi di media sosial.

“Fenomena echo chamber ketika orang mencari peneguhan dari sesama pemeluk ideologi sehingga gagasan yang diulang-ulang meskipun bohong atau keliru karena gema terus didengar di dalam sana akan dianggap benar,” kata Satryo dalam seminar yang diikuti secara virtual di Jakarta, Jumat.
​​​​​​
Baca juga: Rekam digital abadi, Mikha Tambayong ajak bijak pakai media sosial

Dia memaparkan bahwa perkembangan komunikasi digital sangat kuat diwarnai oleh media sosial dengan kendali lebih banyak di tangan pengguna. Namun, imbuh Satryo, media sosial mudah disalahgunakan untuk menyebarkan informasi bohong yang memecah-belah.

Satryo mengatakan kebohongan semakin marak di era pasca-kebenaran hingga menimbulkan polarisasi di masyarakat. Hal itu diperparah bahwa dalam fenomena ruang gema, audiens hanya mau menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya.

Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran, kredibilitas informasi, pesan, atau opini. Ujaran kebencian pun marak bersembunyi di balik kedok kebebasan berpendapat. Akibatnya, jelas Satryo, masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan, dan konflik semakin mudah untuk dipicu.

Baca juga: Pentingnya terapkan etika berinternet cegah konflik di media sosial

“Oleh karena itu, upaya mengembangkan keadaban publik begitu mendesak dalam rangka mencegah politik identitas yang memecah belah masyarakat,” ujar dia.

Satryo menjelaskan bahwa keadaban publik perlu dipahami sebagai tindakan dan perilaku yang menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain. Selain itu, keadaban publik juga mengandaikan sikap kritis atau peduli terhadap permasalahan di dalam masyarakat seperti ketidakadilan, ketaksertaraan, diskriminasi, penyalahgunaan kekuasaan, adu domba, bias gender, perundungan, dan politik identitas yang memecah belah.

Sikap kritis juga dibutuhkan dalam proses menerima hingga mengolah informasi dengan metode analisis wacana kritis. Satryo mengingatkan bahwa membaca informasi diperlukan kejelian karena informasi merupakan interpretasi yang di dalamnya bisa mengandung retorika, manipulasi, dan penyesatan.

“Dengan demikian, analisis wacana kritis sekaligus merupakan upaya membangun kritikal komunikasi yang berlandasan bagi keadaban publik,” ujar dia.

Salah satu faktor yang bisa membantu terwujudnya keadaban publik bila tujuan etika komunikasi terlaksana, yaitu menciptakan masyarakat yang melek informasi secara politik.

Yang dimaksud melek politik, lanjut Satryo, ketika masyarakat tercerahkan sehingga bisa mengambil keputusan dan mendapat informasi yang kredibel. Dengan begitu, masyarakat dapat ambil bagian dalam membangun komunitas yang lebih adil, toleran, dan terbuka.

Baca juga: Inggris Raya denda medsos yang tayangkan konten berbahaya

Baca juga: KPPPA: Cegah KSBE sosialisasi penggunaan medsos yang baik harus masif

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022