Jadi, mereka (penyidik) yang menentukan bagaimana caranya dan mereka juga yang mengimplementasikan proses penangkapan dan penahanan
Jakarta (ANTARA) - Hasil riset yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan terdapat dua faktor utama yang menjadi problem dalam konteks pemenuhan hak-hak tersangka atau terdakwa.

"Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur bagaimana cara mengakses, dan kedua KUHAP juga tidak jelas mengatur bagaimana mekanisme komplain yang dapat ditempuh tersangka/terdakwa apabila terjadi pelanggaran," kata Koordinator tim peneliti audit KUHAP Anugerah Riski Akbari di Jakarta, Rabu.

Hal tersebut disampaikan Riski pada kegiatan "Penguatan hak-hak tersangka/terdakwa dan revitalisasi advokat".

Artinya, dari riset audit KUHAP yang dilakukan, skema pemenuhan menjadi persoalan besar yang harus disikapi. Di dalam KUHAP memang terdapat satu bagian khusus yang mengatur berbagai macam hak yang dimiliki tersangka maupun terdakwa.

Namun, faktanya KUHAP luput memberikan akses atau menjelaskan kepada tersangka/terdakwa atau pendamping hukum bagaimana cara mendapatkan akses tersebut.

Baca juga: Prof. Eddy dukung penuh audit KUHAP

Pada sisi lain ketika terjadi pelanggaran hak-hak prosedural KUHAP juga belum sempurna mengatur komplain yang disampaikan terdakwa atau tersangka dalam konteks pelanggaran hak prosedural.

Dalam paparannya, Riski menjelaskan jika mengacu pada KUHAP, UUD 1945 hingga Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) terdapat satu hak yang dimiliki tersangka/atau terdakwa bahwa ketika dilakukan penangkapan dan penahanan, maka tersangka berhak diberikan surat perintah serta informasi yang jelas mengenai penangkapan dan penahanan.

"Tetapi dalam kenyataannya, semua proses tersebut dan banyak standar yang telah ditetapkan secara internasional diimplementasikan secara subjektif oleh penyidik," ujar dosen tidak tetap pada Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia tersebut.

Ia menilai tingkat subjektifitas yang ditunjukkan penyidik begitu tinggi. Sebab, dalam konteks hukum pidana Indonesia yang menentukan standar penahanan dan penangkapan adalah penyidik.

"Jadi, mereka (penyidik) yang menentukan bagaimana caranya dan mereka juga yang mengimplementasikan proses penangkapan dan penahanan," jelasnya.

Sayangnya, masyarakat tidak memiliki mekanisme untuk meninjau apakah proses penangkapan dan penahanan tersebut bisa dijalankan dengan baik atau sebaliknya.

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022