Kabupaten Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mengungkapkan kasus TBC (tuberculosis) di daerah itu masih ada dan terus bermunculan akibat banyaknya penderita yang enggan melanjutkan pengobatan karena menghindari stigma negatif dari lingkungan sosial sekitar terkait penyakit yang diderita.

"Menderita TBC, tetapi tidak mau dianggap TBC. Persepsi keliru ini yang secara tidak langsung dia menularkan kepada orang lain,” kata Kabid Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung Didik Eka di Tulungagung, Jumat.

Stigma TBC sebagai penyakit "kotor" dan menular membuat penderita menjadi kurang terbuka pada orang lain.

Muncul semacam keengganan untuk berobat, atau berobat, namun dilakukan secara sembunyi-sembunyi membuat penanganan tidak bisa optimal.

Baca juga: Kemenkes-USAID libatkan RS perkuat sistem informasi identifikasi TBC

Baca juga: Eliminasi kasus TBC di Surabaya melebihi target penapisan nasional


"Bakteri pada penderita TBC RO sudah kenal dengan antibiotik, sehingga untuk menyembuhkan butuh dosis dan biaya yang lebih besar," paparnya.

Sebagai perbandingan, untuk penderita TBC biasa pengobatan memakan biaya sekitar Rp10 jutaan.

Sedang untuk TBC RO, untuk satu orang membutuhkan biaya Rp100 juta lebih.

Selain itu pengobatan TBC RO memakan waktu hingga satu tahun tanpa henti. Sedang TBC biasa cukup enam bulan.

Penggiat sosial penanggulangan TBC dari Yayasan Yabhysa, Malahayati, mengatakan pihaknya saat ini memiliki 60-an kader terlatih untuk mengedukasi masyarakat tentang TBC. Anggapan negatif pada pasien TBC menjadi kendala pencegahan penularan penyakit ini.

Dia menyatakan penyakit ini bisa disembuhkan, asal pasien meminum obat secara rutin dan teratur.

"Kami membentuk kader di 32 Puskesmas," katanya. Dan apabila kader dimaksud menemukan suspek yang positif, maka berkewajiban untuk menjalani pengobatan  sampai sembuh.

Pihaknya juga melakukan investigasi kontak pasien. "Tugas kami juga melakukan membantu pemenuhan nutrisi bagi pasien TBC, dengan menggandeng pihak lain,” ujarnya.

Terkait adanya pasien mangkir minum obat, dia menjelaskan mayoritas disebabkan tidak adanya dukungan dari keluarga.

Kedua disebabkan lamanya waktu pengobatan yang hingga 6 bulan. Apalagi jumlah obat yang diminum cukup banyak.

Ketiga efek samping pengobatan TBC. Pengobatan TBC acap kali sebabkan pasien mual dan muntah setelah minum obat.

"Itu tugas kami untuk menyempitkan angka pasien mangkir minum obat,” katanya.

Terakhir dirinya menegaskan bahwa TBC merupakan penyakit yang bisa disembuhkan, dan bukan merupakan aib.*

Baca juga: Dinkes Kediri: Temuan TBC selama 2022 capai 1.026 kasus

Baca juga: Dosen Udinus ciptakan alat pemantau penderita TBC

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022