Semua urusan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bersandar pada Pancasila dan konstitusi.
Mataram (ANTARA) - Wakil Ketua Indonesian Ph.D. Council atau Dewan Doktor Hukum Indonesia Dr. T.M. Luthfi Yazid menyatakan pentingnya menata ulang negara hukum yang bersandar pada Pancasila dan konstitusi.

"A constitution without constitutionalism (konstitusi tanpa konstitusionalisme) tak ada artinya," kata Luthfi Yazid melalui siaran pers yang diterima ANTARA di Matararam, Sabtu.

Dalam acara pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D. Council atau Dewan Doktor Hukum Indonesia di Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat itu, gagasan pentingnya menata ulang negara hukum bersandar Pancasila dan Konstitusi mendapat tanggapan positif dari panelis dan peserta konferensi lainnya, seperti Prof. Dr. O.K. Saidin dari Sumatera Utara.

Prof. Saidin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya berbasis keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar artificial ungkapan dan jargon-jargon yang menyesatkan dan menipu publik.

Menanggapi hal tersebut, Hayyan ul Haq, S.H., L.L.M., Ph.D., pendiri Indonesian Ph.D. Council, memandang penting penyelenggaraan semua urusan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bersandar pada Pancasila dan konstitusi.

Ia mengingatkan pentingnya semua elemen bangsa untuk berinteraksi, bekerja sama, dan bertransformasi bersama dengan melekatkan Pancasila sebagai jiwa sekaligus fondasinya.

Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa Pancasila bukan saja sebagai the way of life, seperti kata Bung Karno, melainkan juga sebagai "takdir" dalam kehidupan bersama di Indonesia.

Hal ini, kata dia, didasarkan atas world realms yang menunjukkan realita bahwa Indonesia adalah bangsa yang bertuhan. Oleh karena itu, dia mengakui dengan tulus bahwa eksistensi kehidupannya merupakan anugerah dari kemahakuasaan Tuhan YME.

"Sangat logis jika eksistensi dan kebebasan berperilaku, bersikap dan bertindak dari manusia Indonesia itu harus melekatkan nilai-nilai ketuhanan yang berkeadaban," katanya.

Sila kedua ini merupakan konsekuensi logis dari pemahaman terhadap eksistensi manusia dalam kehidupan bersama yang terikat dengan nilai-nilai Ilahiah, seperti kebaikan, kebenaran, kejujuran, keseimbangan, dan keutuhan keberlanjutan.

Secara faktual, kehidupan bangsa Indonesia yang berkeadaban itu tidak berhenti sampai pada kehidupan bersama saja, tetapi sebagai bangsa yang bertujuan mewujudkan cita-cita keadilan sosial membentuk wadah yaitu NKRI yang diikat oleh prinsip persatuan Indonesia.

Pemahaman atas konsep persatuan Indonesia ini harus dipahami secara utuh dan komprehensif, bukan persatuan dalam konteks teritorial saja, melainkan dalam konteks cara pandang yang utuh, termasuk cara pandang geopolitik.

Dalam konteks ini, kata dia, terlihat jelas bahwa Pancasila sebagai jawaban atas eksistensi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun bagian dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan berdasar prinsip musyawarah.

"Dengan demikian, semua urusan penyelenggaraan negara harus disandarkan pada prinsip yang utuh dalam mewujudkan keadilan dengan disinari oleh cahaya ketuhanan yang berkeadaban," katanya.

Dengan pemahaman tersebut, lanjut dia, maka konsekuensinya adalah semua nilai konstitusi dan produk peraturan perundang-undangan harus diarusutamakan secara koheren, khususnya dalam menata ulang sistem pengembangan hukum di Tanah Air guna menjamin keberlanjutan kehidupan bersama.

Baca juga: Jimly luncurkan dua buku soal hubungan negara-agama dan kekuasaan
Baca juga: Guru Besar UI: Banyak pasal KUHP baru merupakan "jalan tengah"

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022