Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, Agus Riewanto menyampaikan terdapat dua kelemahan sistem proporsional terbuka, yaitu dapat melemahkan identifikasi diri dengan partai I"party-ID") dan demokrasi.
 
“Pertama, melemahkan identifikasi diri dengan partai atau party-ID. Party-ID merupakan perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya," kata Agus Riewanto dalam keterangannya diterima di Jakarta Rabu.
 
"Party-ID" itu, kata dia, merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi.
 
Agus Riewanto mengutip hasil survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021. Survei menunjukkan bahwa party identity masyarakat Indonesia sangat rendah.
 
Dia menjelaskan 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak ada kedekatan dengan partai politik tertentu ("party ID").

Baca juga: Pakar: Sistem proporsional terbuka akibatkan biaya politik tinggi
Baca juga: Pakar: Sistem proporsional terbuka dapat memicu politik uang
 
Hal itu, katanya, menunjukkan sentimen terhadap partai rendah sekali. Menurut dia, kalau sentimen terhadap partai baik, maka pemilih akan merasa diwakili partai.
 
Ia menjelaskan tentang hasil survei nasional Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan lemahnya "party-ID" di Indonesia. Dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, 67,3 persen pemilih tidak ada ikatan "party-ID", sedangkan pemilih yang menyatakan ada ikatan "party-ID" hanya 23,8 persen.
 
Selain melemahkan "party-ID", persoalan kedua yang disebabkan sistem proporsional terbuka adalah melahirkan fenomena antipartai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia.
 
"Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya ('electoral volatility') sehingga pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai layaknya 'roller coaster',” kata Agus.
 
Dampak buruknya, lanjut dia, pemilu hanya bergantung pada figur, kandidat, dan calon anggota legislatif saja sehingga pemilih lebih mempertimbangkan kepada calon anggota legislatif yang populer dan bermodal uang bukan pada kesamaan "party-ID".
 
Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang Menguji Materi ("Judicial Review") UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait Sistem Proporsional Terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan MK, maka sistem Pemilu 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023