Motif silence defensif ditemukan sebagai motif yang dominan
Depok (ANTARA) - Psikolog Universitas Indonesia (UI) Anna Armeini Rangkuti mengidentifikasi ada empat motif utama silence mahasiswa terhadap kesaksian adanya kecurangan akademik.

"Penelitian yang saya lakukan berhasil mengidentifikasi empat motif utama silence mahasiswa menyaksikan kecurangan akademik," kata Anna Armeini Rangkuti dalam keterangannya, Selasa.

Ia menjelaskan empat motif tersebut, yaitu pertama acquiescent (karena merasa tidak berdaya mengubah situasi), kedua prososial (karena memiliki motif altruistik untuk membantu pelaku kecurangan atau untuk menjaga nama baik institusi), ketiga oportunistik (karena motif kepentingan pribadi dan tidak ingin direpotkan dengan prosedur pelaporan kecurangan), dan keempat defensif (karena merasa takut akan konsekuensi yang dihadapi jika melaporkan kecurangan).

Anna mengatakan hasil riset tersebut mengungkapkan, motif prososial dan defensif merupakan motif yang lebih dominan dibandingkan motif acquiescent dan oportunistik. Motif silence prososial dapat dimaknai dari sisi empati mahasiswa yang menyaksikan kecurangan, yaitu empati kepada pelaku kecurangan yang kemungkinan akan mendapatkan kesulitan jika kecurangannya dilaporkan.

Baca juga: Dosen Psikologi UI: Menjadi manusia dewasa tantangan di era digital

Baca juga: Bagus Takwin terpilih sebagai Dekan Fakultas Psikologi UI


Selain itu lanjut Anna motif silence prososial juga dapat dilihat dari sisi nilai budaya masyarakat kolektif yang berlaku di Indonesia. Kehidupan di dalam budaya kolektif lebih mengutamakan keharmonisan dan solidaritas, bahkan salah satu indikasi kesejahteraan psikologis individu di tengah masyarakat kolektif adalah dengan sikap dan perilaku yang mengutamakan kepentingan orang lain, Hal ini termasuk menolong orang lain agar tidak mendapat kesulitan dalam beragam sisi kehidupan.

"Motif silence defensif yang juga ditemukan sebagai motif yang dominan sangat terkait dengan hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Motif silence defensif mahasiswa yang menyaksikan kecurangan akademik ditunjukkan dengan rasa takut disingkirkan dari pergaulan dan dimusuhi oleh mahasiswa lain akibat melaporkan kecurangan yang terjadi," kata Anna yang juga merupakan dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Penelitian ini menjadi kontribusi praktis bagi pihak-pihak yang terkait dengan dunia pendidikan tinggi. Pertama, peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik perlu mencantumkan tanggung jawab peran mahasiswa saksi kecurangan secara eksplisit.

Kedua, tersedianya sarana pelaporan yang memadai, aman, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Ketiga, standardisasi peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik di kelas-kelas perkuliahan dan juga antarfakultas.

Standardisasi ini agar academic cheating awareness, seriousness of academic cheating, dan peer reporting judgment semakin menguat di benak mahasiswa serta memperbesar peluang terjadinya pelaporan kecurangan.

"Terakhir, mengingat pentingnya peran persepsi keseriusan kecurangan akademik untuk melemahkan silence mahasiswa yang menyaksikan terjadinya kecurangan," katanya.

Maka pihak dosen pengajar dan institusi pendidikan disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang beragam dampak serius kecurangan akademik bagi kehidupan individu, institusi, bahkan negara. Kecurangan akademik merupakan persoalan yang serius yang idealnya ditangani juga dengan serius oleh seluruh sivitas akademika.

Anna melakukan penelitian doktoralnya yang berjudul “Mekanisme Pelemahan Silence Mahasiswa Saksi Kecurangan Akademik Melalui Peran Mediasi Seriousness of Academic Cheating dalam Perspektif Pengambilan Keputusan Etis”. Hasil penelitian ini mengantarkan Anna meraih gelar doktor dari Fakultas Psikologi UI.

Baca juga: Fakultas Psikologi UI gelar festival resiliensi virtual

Baca juga: Riset Psi UI : Resiliensi orang Indonesia cenderung rendah

 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023