Davos (ANTARA) - Kepala Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian (International Fund for Agricultural Development/IFAD) dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, Swiss, Rabu (18/1), mengingatkan bahwa krisis pangan yang sedang berlangsung kemungkinan akan terus berlanjut di tahun ini.

"Untuk 2023, kami tidak memperkirakan situasi yang lebih baik dari 2022. Beberapa hambatan dalam rantai pasokan global yang kami lihat pada 2022 akan berdampak pada 2023," kata Presiden IFAD Alvaro Lario kepada Xinhua.

"Kami bekerja dengan banyak mitra kami untuk juga mencari cara bagaimana melancarkan situasi pupuk. Namun, mengingat musim tanam pada 2022, tidak akan ada banyak kabar baik untuk 2023," imbuhnya.
 
   Bayangan siluet seseorang dengan latar logo forum ekonomi dunia. IFAD menyatakan tiga perempat orang termiskin di dunia tinggal di daerah pedesaan di negara berkembang dan sebagian besar dari mereka bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian. (Xinhua)


Menurut Lario, meski tindakan telah diambil untuk mengatasi krisis pangan, semua itu hampir tidak cukup dan akan dibutuhkan lebih banyak investasi lagi.

"Kami melihat banyak petani kecil menderita karena krisis biaya hidup, terbatasnya akses untuk mendapatkan pangan dan pupuk. Sayangnya, musim tanam telah hilang," katanya.

"Meski demikian, ada beberapa inisiatif yang sedang berlangsung tentang bagaimana mengatasi kekurangan sistem pangan. Beberapa di antaranya berhubungan dengan perpajakan, subsidi, distribusi, dan produksi. Kami sedang mencari cara-cara untuk meningkatkan investasi dalam sistem pangan secara besar-besaran," lanjutnya.
 
  Ratusan karung berisi beras China ditata di sebuah lapangan. IFAD telah mengingatkan bahwa krisis pangan global yang terjadi sajak beberapa waktu lalu bakal kian memburuk pada tahun-tahun mendatang. (Xinhua)


Perubahan iklim, pertumbuhan populasi global, serta harga pangan dan energi yang tidak stabil berpotensi mendorong tambahan jutaan orang yang rentan ke dalam kemiskinan dan kelaparan ekstrem pada 2030.

Menurut laporan State of Food Security and Nutrition yang dipublikasikan pada Juli lalu oleh lima badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk IFAD, dunia semakin tertinggal dalam upaya untuk mengakhiri kelaparan dan kemiskinan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) 2030.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang terdampak oleh kelaparan secara global meningkat menjadi 828 juta orang pada 2021, naik sekitar 150 juta orang sejak pandemi COVID-19 mulai merebak.
 
   Seorang petani tengah memetik tanaman pangan yang siap panen.  (Xinhua)


Lario juga mengatakan bahwa China dapat menjadi contoh tentang bagaimana mengentaskan kemiskinan absolut. "China adalah mitra penting bagi kami di IFAD," katanya.

Sebagai negara peminjam sekaligus donor, China telah memainkan "peran fundamental" dalam kerja sama segitiga Selatan-Selatan, kata kepala IFAD itu.

Kerja sama Selatan-Selatan mengacu pada kerja sama pembangunan antara negara-negara berkembang di kawasan Global South. Ketika kerja sama semacam itu melibatkan dukungan dari mitra utara, maka kerja sama itu disebut sebagai kerja sama Segitiga.

"Mengingat apa yang telah dialami China selama beberapa dekade terakhir, ini sungguh merupakan contoh yang baik tentang bagaimana mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. Kami masih bekerja sama dengan China untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan, dan mereka telah menjadi pelaku fundamental bagi kami," kata Lario.

Pada 2021, China mengumumkan "kemenangan sepenuhnya" dalam perjuangannya untuk mengentaskan kemiskinan, yang berarti kemiskinan absolut telah diberantas di negara dengan populasi terbanyak di dunia itu.
 
Dua orang pria tengah menyusun berkarung-karung beras ke sebuah truk pengangkut (Xinhua)

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023