Palu (ANTARA) -
Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menguatkan budaya literasi mandiri dan edukasi hukum sebagai gerakan perbaikan tontonan dari dampak globalisasi perfilman.
 
"Film dapat memberikan dampak negatif bila ditonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia, karena film yang diperuntukkan bagi orang dewasa tidak akan cocok di tonton oleh anak-anak," kata Ketua Subkomisi Dialog LSF RI Noorca M Massardi pada sosialisasi budaya sensor mandiri di Kota Palu, Rabu.
 
Ia menjelaskan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, maka tugas dan tanggungjawab LSF melakukan penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan dipertunjukkan kepada khalayak umum.
 
Ia mengatakan salah satu strategi dilakukan yakni lewat gerakan budaya sensor mandiri yang dapat dilakukan oleh orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya kepada anak, karena dalam tata aturan pemerintah melalui LSF membagi dalam empat klasifikasi usia yakni tontonan Semua Umur (SU), di atas 13 tahun (13+), dewasa di atas 17 tahun (17+) dan dewasa di atas 21 tahun (21+).

Baca juga: LSF RI terus gencarkan sosialisi UU perfilman ke sekolah-sekolah

Baca juga: LSF RI terus kembangkan Desa Sensor Mandiri

 
Menurut data LSF, total film dan iklan film disensor pada tahun 2021 sebanyak 40.638 judul, terdiri dari 25.448 film nasional/dalam negeri atau sekitar 62,62 persen dan 15.190 film impor atau sekitar 37,38 persen.
 
"Upaya melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak cukup dengan kebijakan surat tanda lulus sensor (STLS). Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan serta pengetahuan terhadap film melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menonton film sesuai klasifikasi usia maupun peruntukannya," tuturnya.
 
Sekretaris LSF RI Hafidzah mengemukakan, setiap film dan iklan film yang diproduksi oleh pemiliknya sebelum disajikan menjadi tontonan publik wajib melalui tahapan dialog penyensoran sebelum mendapat rekomendasi STLS.
 
Pada dialog penyensoran, dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab antara LSF dan pemilik film lewat diskusi mengenai film dan iklan film yang tidak sesuai dengan kriteria penggolongan usia penonton.
 
"Tujuan dialog ini untuk menumbuhkan swasensor dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, norma, kesesuaian serta budaya," ucapnya.
 
Ia berharap, baik pemerintah daerah (pemda) maupun pemangku kepentingan dapat berkolaborasi memberikan edukasi mengenai tontonan yang baik kepada masyarakat, terutama kalangan anak-anak lewat kegiatan pendidikan di sekolah maupun forum sosial lainnya.

Baca juga: Sineas perlu atur waktu syuting jika libatkan anak

Baca juga: LSF perluas kerja sama literasi dengan BUMN hingga pemda

 
 

Pewarta: Mohamad Ridwan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023