Jakarta (ANTARA) - Saat itu jam menunjukkan pukul 09.36 waktu Hong Kong. Beberapa sudut jalanan di kawasan North Point seperti King Wah Rd dan Oil St sudah ramai dengan pejalan kaki yang berlalu lalang sembari mengenakan jaket.

Pada Februari ini, Hong Kong masih mengalami musim dingin dengan suhu rata-rata 12 derajat Celcius hingga 20 derajat Celcius. Saat itu, kondisi cukup dingin, kering, berawan dan terkadang bermatahari.

Sebagian besar orang yang berjalan kaki di berbagai wilayah administratif khusus China itu tampak terburu-buru, pun saat sekadar berjalan untuk menaiki feri misalnya menuju Cheung Chau dari Central Pier.

Bila kebanyakan orang rata-rata berjalan dengan kecepatan sekitar lima kilometer per jam, orang Hong Kong bisa mencapai enam hingga tujuh kilometer per jam, sehingga terkesan terburu-buru, kata pemandu tur Hong Kong Carolus Chui.

Menurut Chui saat ditemui dalam sebuah perjalanan bersama awak media dari Indonesia dan pihak Hong Kong Tourism Board (HKTB) belum lama ini, masyarakat Hong Kong memilih berjalan kaki ketimbang menaiki Mass Transit Railway atau MTR dengan tujuan kurang dari tiga stasiun atau terjebak kemacetan di jalanan. Dia yang pernah tinggal di Indonesia itu mengatakan orang Hong Kong terlalu ingin cepat dan bagi mereka waktu sangat berharga.

Pemandangan orang berjalan kaki di perkotaan sebenarnya bukan sesuatu yang asing di Indonesia. Pada beberapa area di Ibu Kota Jakarta, misalnya Jalan Sudirman, khususnya jam berangkat dan pulang kerja, relatif sering dijumpai orang berjalan kaki dari stasiun kereta menuju kantor yang letaknya satu hingga 1,5 km dengan waktu tempuh sekitar 10 – 15 menit.

Dari sisi kesehatan, berjalan kaki cepat termasuk aktivitas fisik yang dapat membantu seseorang menjalani hidup yang lebih sehat. Merujuk Mayo Clinic, aktivitas ini dapat membantu mempertahankan berat badan yang sehat, meningkatkan kebugaran kardiovaskular, memperkuat tulang dan otot, meningkatkan daya tahan otot hingga mengurangi stres dan ketegangan. Semakin cepat, semakin jauh, dan semakin sering seseorang berjalan, maka semakin besar manfaat yang dia dapatkan.

Bagi mereka yang ingin menjadikannya sebagai aktivitas fisik rutin, dokter spesialis kedokteran olahraga yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO) dr Hario Tilarso, Sp.KO menyarankan agar melakukannya secara perlahan sesuai kemampuan.

Nantinya, semakin lama jalan kaki bisa dilakukan semakin sering dan cepat hingga sesuai rekomendasi dengan peningkatan kira-kira setiap dua pekan. Kecepatan jalan cepat atau brisk walking yang diharapkan nantinya sekitar sembilan hingga 10 menit per kilometer.

Memulai jalan kaki

Dr Rachmad Wishnu Hidayat, Sp.KO., Subsp.APK (K) atau biasa disapa dr Wishnu mengingatkan orang-orang mempertimbangkan lokasi bila ingin menjadikan berjalan kaki sebagai aktivitas fisik rutin. Dia mencontohkan, di Jakarta misalnya, area yang cukup nyaman untuk aktivitas jalan kaki outdoor seperti daerah Menteng, Senopati, atau kawasan Lapangan Banteng.

Kemudian, merujuk pada rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020, seseorang disarankan melakukan aktivitas fisik intensitas sedang atau aktivitas aerobik intensitas sedang minimal 150 menit per minggu.

Wishnu yang tergabung dalam Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO) itu mengatakan jalan kaki disebut intensitas sedang apabila dilakukan lebih cepat atau brisk walk yakni seperti terburu-buru atau lebih cepat.

Setiap orang memiliki kecepatan berbeda-beda untuk dapat dikatakan seperti terburu-buru. Terburu-buru orang dengan tinggi badan 180 cm misalnya, berbeda dengan orang bertinggi badan 160 cm. Tetapi, menurut, The American College of Sports Medicine (ACSM) brisk walk umumnya dilakukan kurang lebih lima sampai enam kilometer per jam, sesuai dengan postur tubuh seseorang.

Dengan kata lain, berjalan kaki dengan kecepatan di bawah lima kilometer per jam masih dikategorikan sebagai jalan kaki biasa atau bukan brisk walk.

Untuk mencapai rekomendasi minimal 150 menit per minggu, seseorang tidak disarankan membebankan pada satu hari, melainkan dapat membaginya ke dalam beberapa hari.

Khusus mereka yang semula tergolong memiliki gaya hidup sedenter atau aktivitas fisiknya kurang dari 150 menit per pekan, maka perlu menetapkan target yang secara bertahap meningkat.

Misalnya, minggu pertama dan kedua 50 menit per minggu yang dibagi frekuensinya tiga kali dalam sepekan contohnya Senin, Rabu dan Jumat atau Selasa, Kamis dan Sabtu. Satu kali melakukan jalan kaki cepat per harinya sekitar 16-17 menit.

Kemudian pada minggu ketiga dan keempat, ditingkatkan misalnya menjadi 70-80 menit seminggu yang terbagi juga menjadi tiga kali seminggu.

Lalu, di minggu lima dan enam itu tambah menjadi 100 menit per minggu dengan frekuensinya menjadi empat kali per minggu atau 25 menit dalam sekali latihan. Kabar baiknya, dalam satu hari latihan, seseorang dapat membaginya ke dalam satu sesi kecil yang tidak kurang dari 10 menit.

“Target 100 menit di minggu kelima dan enam, mau dipecah frekuensinya menjadi empat kali, nah sekali melakukan itu 25 menit. Itu bisa dipecah dalam sehari. Jadi enggak mesti 25 menit kontinu jalan kaki cepat. Dipecah, pagi-pagi 10 menit, sore-sore 15 menit,” jelas Wishnu yang berpraktik di Prodia Health Care Kramat Jakarta Pusat itu.

Kemudian, pada pekan ke tujuh dan ke delapan jalan kaki cepat bisa dilakukan menjadi 120 menit per minggu dengan frekuensi tetap empat kali per minggu.

Seseorang nantinya disarankan terus menambah jumlah waktu sehingga pada minggu ke 12 sudah mencapai minimum 150 menit.

Target ini diharapkan dapat tercapai dalam waktu tiga bulan seiring meningkatnya faktor risiko penyakit tidak menular seperti kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar gula darah.

Selain berdasarkan jumlah menit per minggu, seseorang juga bisa mengikuti rekomendasi yang menyatakan jumlah langkah per hari. Rekomendasi umum yakni 10.000 langkah per hari, namun menurut ACSM jumlah langkah sekitar 7.000 hingga 9.000 langkah sudah dapat berdampak positif pada kesehatan. Jalan kaki ini pun bisa dilakukan di rumah, di tempat kerja dan lainnya selama berpindah dari satu moda transportasi ke moda lainnya.

Cara pencapaian target pun bertahap dalam tiga bulan mencapai rekomendasi, misalnya minggu pertama dan kedua 1.000 - 2.000 langkah per hari, minggu ketiga dan empat sekitar 2.000 - 3.000 langkah, minggu kelima dan enam sebanyak 3.000 - 4.000 langkah, minggu tujuh hingga delapan 4.000 - 5.000 langkah dan seterusnya hingga di minggu 12 sudah mencapai 8.000-9.000 langkah per hari.

Tidak ada kecepatan jalan yang direkomendasikan dan sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing individu.

“Kejar-kejaran” dengan waktu

Wishnu mengingatkan orang-orang agar tak terlalu santai dalam memperhatikan kesehatan. Dia mengibaratkan upaya ini seperti "kejar-kejaran waktu" saking pentingnya mengusahakan agar risiko mendapatkan penyakit-penyakit tidak menular yang derajatnya lebih berat seperti diabetes, penyakit jantung koroner, stroke dan lainnya dapat lebih rendah.

Menurut dia, tingkat kebugaran akan meningkat lebih baik saat seseorang yang semula menerapkan gaya hidup sedenter mencoba aktif dengan target waktu tiga bulan.

Tingkat kebugaran yang tinggi atau lebih baik dapat menurunkan kematian dan terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, penyakit jantung koroner, stroke dan beberapa jenis kanker yang terkait gaya hidup.

Lalu, bagaimana bila seseorang jenuh beraktivitas fisik? Wishnu memaklumi ini bisa dialami siapa saja. Namun, dia mengingatkan agar rehat atau berhenti melakukan aktivitas fisik intensitas fisik sedang apapun tak lebih dari empat pekan, karena dapat menurunkan kebugaran fisik yang sudah didapat. Saat tingkat kebugaran fisik menurun, maka risiko penyakit tak menular dan bahkan kematian akibat penyakit itu akan meningkat kembali.

Jadi, masih berniat mangkir dari melakukan aktivitas fisik rutin dan tetap menerapkan gaya hidup sedenter alias mager (malas gerak)?

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023