Indonesia adalah negara tropis yang di satu sisi biodiversitasnya tinggi, tapi juga keanekaragaman hama dan penyakit juga sangat tinggi. Jadi, ketika pertanian monokultur dibuat masif, maka yang akan terjadi adalah datang hama
Jakarta (ANTARA) - Sistem pertanian skala besar yang hanya mengandalkan satu jenis tanaman atau monokultur kurang tepat untuk diaplikasikan di Indonesia sebagai negara tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi.

Dosen sekaligus peneliti sosiologi pertanian-pangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Angga Dwiartama mengatakan pertanian monokultur bisa membuat agroekologi menjadi sangat ringkih dan rentan.

"Indonesia adalah negara tropis yang di satu sisi biodiversitasnya tinggi, tapi juga keanekaragaman hama dan penyakit juga sangat tinggi. Jadi, ketika pertanian monokultur dibuat masif, maka yang akan terjadi adalah datang hama," ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk 'Food Estate untuk Membangun Kedaulatan Pangan' di Jakarta, Jumat.

Wahyu menceritakan ketika Indonesia menerapkan revolusi hijau sekitar tahun 1970-an, ledakan hama langsung terjadi di wilayah pertanian.

Menurutnya, cara memperlakukan ekosistem tropis seharusnya dengan berbasis keanekaragaman jenis tanaman, bukan dengan satu jenis tanaman saja.

Baca juga: CIPS : Adopsi intensifikasi pertanian berkelanjutan semakin mendesak

Ia mengatakan proyek food estate  atau lumbung pangan yang kini dibangun oleh pemerintah berupa pertanian terpusat di suatu kawasan dapat memarjinalkan masyarakat, karena masyarakat masih mengandalkan keanekaragaman di lahan pertanian mereka.

"Kami melakukan studi di Jawa Barat. Lahan seukuran satu hektare saja memiliki keanekaragaman jenis pohon buah bisa sampai 50 jenis. Bayangkan ketika itu dihilangkan, maka ada banyak sumber pangan yang hilang dari masyarakat," ujarnya.

Lebih lanjut Wahyu mengaku percaya bahwa ketahanan pangan bisa dicapai secara efektif di tingkat lokal dengan berbekal ekosistem yang sangat beragam tersebut.

Pemerintah dapat mendorong perkembangan sistem pangan lokal agar terhubung satu sama lain dan membuat jaring kuat ketahanan pangan.

"Kalau di luar negeri, kita bicara tentang alternatif network atau local food network, itu di mana ada kantong-kantong produksi yang saling terhubung satu sama lain, sehingga mereka juga bisa saling berbagi. Hal yang penting sebenarnya pemerintah menyediakan ruang untuk itu, jadi kita bisa membuat suatu sistem yang cukup solid," pungkas Wahyu.

Baca juga: Pantau Gambut: Kerusakan gambut bisa hilangkan identitas warga lokal
Baca juga: Pengamat: Keberhasilan "food estate" baru dapat dirasakan tahun 2027

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023