Padang (ANTARA) - Awan hitam masih menaungi Kota Padang, Sumatera Barat, pertanda hari itu masih berpeluang hujan. Sebagian besar orang-orang masih terlelap karena hawa sejuk pagi, namun di Pantai Muaro Lasak, sejumlah pemulung justru beramai-ramai ke pantai. Mereka mengumpulkan sampah plastik dan kaleng yang terombang-ambing oleh ombak ke tepian.

Sebagian besar dari pemulung itu adalah anak-anak. Mereka mengumpulkan botol demi botol, kaleng demi kaleng agar bisa dijual kembali ke pengepul. Terkadang tidak hanya plastik dan kaleng yang ditemui di pantai, tapi juga ban bekas, kain bekas dan hewan yang mati terbawa arus.

Saat itu, sampah menjelma pantai dan tidak menyisakan sedikit pun celah untuk pasir terlihat di permukaan. Hampir setiap sehabis hujan lebat, kondisi tersebut berulang. Air sungai yang meluap dari hulu tidak hanya membawa material kayu, tetapi juga sampah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Padang Mairizon mengatakan sampah-sampah yang bertumpuk di pantai tersebut merupakan sampah yang sudah tertanam lama di dasar laut.

"Sampah itu menumpuk dan sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, bisa dilihat dari kondisi dan tekstur sampah," kata Mairizon, saat meninjau Pantai Muaro Lasak.

Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku masyarakat yang masih suka membuang sampah ke sungai, sehingga sampah terbawa arus dari hulu ke muara.

Pantai Muaro Lasak adalah pantai ikonik yang memiliki Tugu Merpati Perdamaian, sehingga ramai dikunjungi wisatawan. Namun, saat penuh dengan sampah, pengunjung tidak mau datang ke pantai karena kotor dan berbau tidak sedap.

Tidak hanya berdampak kepada wisatawan, sampah juga berdampak kepada warga setempat yang berprofesi sebagai nelayan.

Dulu, kata Amrizal, warga Muaro Lasak, dirinya adalah nelayan pencari udang. Hasil tangkapan nelayan masih terbilang melimpah, sebelum banyak sampah, seperti saat ini. Kini kondisinya berbeda, karena kehadiran sampah sangat merugikan nelayan.

Sebagai warga, Amrizal juga mengaku malu kepada tamu yang berkunjung ke pantai itu. Setiap tamu yang datang mengeluhkan pantainya yang kotor, sementara warga tidak ada yang membuang sampah di sekitar pantai itu.

Pemerintah Kota Padang berupaya mengatasi persoalan sampah di Muaro Lasak, mulai dari mengubur sampah ke dalam pasir, mengerahkan ekskavator untuk memindahkan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA), hingga menghambat sampah dengan kubus apung di sungai-sungai besar di kota itu.

Namun sampah tetap datang tak terkira. Hampir setiap hujan lebat dan banjir, sampah dihanyutkan sungai dan dihempaskan ombak ke pantai. Perjalanan sampah tidak sampai di situ. Banyak sampah yang ternyata dihanyutkan arus hingga ke tengah laut dan ke pulau.

Hampir 30 mil jaraknya dari Muaro Lasak, sampah-sampah tersebut sampai ke Pulau Bando di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh, Sumatera Barat.

Pulau tidak berpenghuni itu ikut merasakan apa yang dialami oleh Pantai Muaro Lasak, yakni penuh dengan sampah setiap kali habis hujan lebat di darat.
 

Dampak sampah

Pada Oktober 2021, seekor lumba-lumba bungkuk (sousa chinensis) ditemukan mati terdampar di Pantai Pasir Jambak, Padang. Belum diketahui secara pasti penyebab matinya hewan mamalia laut tersebut, namun mulutnya terluka akibat suatu benda. Warga terpaksa menguburnya di pantai.

Desember 2022, warga menemukan bangkai seekor penyu hijau (chelonia mydas) di antara tumpukan sampah di Pantai Air Tawar, Padang. Sebelumnya, seorang pemancing melihat penyu tersebut terapung-apung di perairan dengan sampah plastik di tubuhnya.

Khairul Mahmud, seorang warga Air Tawar, menduga penyu itu sudah mati lama di laut dan terdampar di pantai karena sebagian tubuhnya sudah membusuk.

Tidak hanya itu, seekor paus bungkuk (megaptera novaeangliae) terlihat merapat ke perairan pantai Pasie Nan Tigo, Padang, pada Februari 2023. Nelayan melihat tubuh paus itu terlilit tali sehingga hanya bisa berputar-putar di kawasan itu selama tiga hari berturut-turut.

Tim KOMPAK memanggul karung berisi sampah plastik untuk dibawa ke darat, di Pulau Bando, Sumatera Barat. ANTARA/Iggoy el Fitra.
  Munculnya sampah plastik di lingkungan laut tidak hanya berdampak kepada pantai dan masyarakat saja, tetapi juga satwa laut.

Keberadaan sampah-sampah itu disebabkan masih minimnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam “Statistik Potensi Desa Indonesia” 2021 menunjukkan hanya 19,40 persen orang membuang sampah di tempat sampah, sedangkan hampir 80 persen orang masih buang sampah sembarangan, seperti ke dalam lubang atau dibakar, ke sungai atau saluran irigasi hingga drainase.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat Wengki Purwanto mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup mengatur bahwa standar baku mutu sungai, danau dan laut terkait sampah adalah nihil.

Artinya, tidak boleh satu sampah pun ada di dalam badan air, baik di sungai, danau, maupun laut. Hal ini penting untuk disadari bahwa ancaman sampah, utamanya mikroplastik, telah nyata bagi keberlangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Karena itu, pemerintah harus terus menerus memberikan teladan dalam perubahan perilaku pengurangan plastik sekali pakai (PSP) dalam setiap kegiatan dan yang mendukung pemilahan serta pengolahan sampah organik.

Pemerintah perlu menyusun atau merivisi peraturan daerah (perda) pengelolaan sampah dan menerapkan sebagaimana mestinya, terutama regulasi pengurangan PSP (tas kresek, sachet, styrofoam, botol air minum dalam kemasan (AMDK), popok dan sedotan.

Perda yang sudah ada, wajib ditegakkan dengan memberlakukan insentif dan disinsentif. Selain itu pemerintah perlu membuat dan menerapkan rencana teknis pengelolaan sampah (RTPS) di masing-masing daerah, seperti kelurahan atau nagari.

Penanganan sampah laut perlu dilakukan oleh segala sektor, terutama lembaga pemerintahan yang terkait dengan laut.

Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut mengamanatkan kepada 16 kementerian/lembaga untuk mempercepat penanganan sampah laut, salah satunya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

KKP menginisiasi gerakan bersama nelayan yang dilakukan secara nasional dengan mengajak dan melibatkan masyarakat nelayan untuk menjaga laut dari sampah plastik.

Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Nasional Bulan Cinta Laut (Gernas BCL). Gernas BCL merupakan aksi konkret dalam upaya penanganan sampah laut dengan melibatkan masyarakat nelayan untuk membersihkan sampah di laut selama satu bulan penuh.

Di Sumatera Barat, Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK) Raja Samudera berupaya melakukan pengendalian sampah laut, berupa sampah plastik, yang didapatkan di kawasan Konservasi Perairan Pulau Pieh.

Kepala LKKPN Pekanbaru Fajar Kurniawan mengatakan pihaknya membawahi wilayah konservasi laut di Sumatera Barat seluas 39.920 hektare (ha) meliputi lima pulau, yakni Pulau Toran, Bando, Aia, Pieh, dan Pulau Pandan.

LKKPN Pekanbaru memiliki tugas utama, yakni melindungi ekosistem dan biota yang ada di dalam kawasan agar nantinya bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan, baik itu sektor perikanan, pariwisata dan pendidikan.

Kebetulan di kawasan itu kaya sumber daya alam, ada ikan kerapu, paus, penyu, lumba-lumba, dan terumbu karang dengan kualitas baik.

Pada saat melakukan monitoring pihaknya sempat bermalam di Pulau Pieh karena kondisi hujan lebat. Esoknya, saat akan kembali ke darat, ia melihat banyak sampah dengan radius dua kilometer dari pulau ke laut.

Berdasarkan informasi dari petugas, sampah-sampah itu juga membawa ular yang masih hidup, sehingga mereka berkembang biak di pulau.

Jenis sampah yang berserakan di pulau, ada sampah plastik, popok bayi, sandal, dan lain-lain, padahal Pulau Pieh sendiri tidak berpenghuni.

Kalau disebut sebagai sampah pengunjung pulau, kemungkinan sangat kecil karena untuk transportasi pun sulit. Sebab, akses yang jauh dan harus mendapatkan izin serta membeli tiket dulu ke LKPPN Pekanbaru.

Karena itu, LKPPN Pekanbaru bekerja sama dengan KOMPAK Raja Samudera untuk mengendalikan sampah laut yang terdampar di pulau-pulau konservasi.

Di Pulau Pieh, Bando, dan Pandan, terdapat enumerator, petugas lapangan yang membantu tim survei dalam pengumpulan data penyu, mengumpulkan sampah-sampah dan dibawa ke darat setiap dua minggu sekali.

Petugas bersama KOMPAK mengumpulkan sampah berganti dari pulau ke pulau kemudian dikumpulkan ke dalam karung dan dibawa ke darat menggunakan perahu motor.

 LKKPN Pekanbaru mendukung aktivitas ini dengan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Dengan kegiatan ini, ada sirkular ekonomi karena mereka mendapatkan nilai tambah dari sampah-sampah yang ada.

Ketua KOMPAK Irnal menambahkan hampir setiap hari ia menemui sampah-sampah dari laut terdampar di pulau tersebut.

Apalagi ketika laut pasang dan badai entah dari mana sampah itu ke pantai. Di pulau tidak mungkin ada sampah karena sampah itu dari darat, ke laut dan ke pulau.

Dalam sehari tim KOMPAK bisa mengumpulkan sampah hingga dua karung besar. Ketika sudah banyak sampah dibawa ke Pantai Tiram, Kabupaten Padang Pariaman, sesuai jadwal pergantian shift petugas enumerator LKPPN Pekanbaru setiap 15 hari.

Sampah plastik akan dilanjutkan distribusinya ke Tempat Pengolahan Sampah (TPS) 3R Naras Jaya di Kota Pariaman untuk didaur ulang.

Namun, sebelum sampai di Pariaman, Irnal dan timnya mesti melewati rintangan terlebih dahulu, yakni perjalanan laut sejauh 14 mil melewati ombak Samudera Hindia.

Suatu ketika, di tengah perjalanan Irnal pernah diterjang badai sehingga membuat perahunya terbalik dan karung sampah terombang-ambing di lautan. Bagi dian dan tim, itu adalah risiko pekerjaan. Bagaimanapun, ia tetap bertekad kuat memulangkan sampah itu ke darat.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023