... kisah "sapi makan sapi" itu memang ada.
Sleman (ANTARA) - Fenomena "sapi makan sapi" bagi peternak di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selama ini seolah dianggap kejadian lumrah pada setiap musim kemarau.

Wilayah Gunung Kidul yang mayoritas merupakan kawasan perbukitan Kapur, selama ini memang sering mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Kondisi tersebut mengakibatkan sektor pertanian dan peternakan banyak mengandalkan stok air hujan. Hijauan daun atau rumput untuk pakan ternak seperti sapi, domba, maupun kambing akan sulit didapatkan pada saat musim kemarau dan terjadi kekeringan.

Guna memenuhi kebutuhan pakan ternak, maka masyarakat Gunung Kidul harus ke wilayah bawah di DIY dan sekitarnya untuk mendapatkan rumput, pohon jagung, atau jerami untuk pakan ternak mereka.

Aktivitas tersebut tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga peternak terpaksa menjual salah satu ternaknya, terutama sapi, untuk membeli pakan ternak. Kebiasaan ini yang kemudian memunculkan istilah "sapi makan sapi".

Menghadapi fenomena musiman "sapi makan sapi", Keraton Yogyakarta tidak tinggal diam. Keraton menunjukkan dan membuktikan komitmennya kepada NKRI dalam menjaga lingkungan dan sekaligus menyejahterakan masyarakat.

Cerita adanya "sapi makan sapi" dikisahkan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di Dusun Ngrejek Wetan, Desa Gombang, Ponjong, Gunung Kidul, saat peluncuran Program Pengembangan Ekosistem Green Economy (Ekonomi Hijau) pada medio Februari 2023.

Komitmen yang dimaksud Sri Sultan HB X atau yang oleh masyarakat DIY akrab disapa Ngarsa Dalem ini adalah menyejahterakan masyarakat tanpa harus merusak lingkungan alam sekitar.

Mewujudkan kesejahteraan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 jangan sampai merusak atau menghancurkan sumber kehidupannya.

Kisah "sapi makan sapi" tersebut turut didengar ratusan orang yang hadir dalam peluncuran Program Pengembangan Ekosistem Green Economy (Ekonomi Hijau). Program istimewa ini diselenggarakan berkat kerja sama antara PT PLN, PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI), PT Energy Management Indonesia (EMI), Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Hadir dalam acara tersebut antara lain Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo, Dirut PT PLN EPI Iwan Agung Firstantara, Direktur Biomassa PT PLN EPI Antonius Aris Sudjatmiko, Dirut PT EMI Surya Fitriadi, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi, GKR Condrokirono, RM Gustilantika Marrel Suryokusumo, Taprof Bidang Ideologi Lemhannas RI AM Putut Prabantoro yang juga Ketua Pengkajian Kerja sama Lemhannas – PT PLN EPI AM Putut Prabantoro dan Taprof Bidang Ekonomi Lemhannas RI Caturida Meiwanto Doktoralina yang mewakili Deputi Pengkajian Strategis Lemhannas RI.

Menurut Ngarsa Dalem, Gunung Kidul adalah lumbung ternak di DIY. Selain dari ternak, masyarakatnya hidup dari pertanian. Lahan pertanian mereka tanami padi, ubi, jagung dan lainnya. Sementara kalau peternakan rumahan, yang dipelihara masyarakat adalah sapi atau kambing.

Dari sektor inilah masyarakat Gunung Kidul hidup. Namun permasalahan klasik muncul ketika musim kemarau datang. Ternak terancam kelaparan karena tidak ada tumbuhan hijau untuk pakan ternak. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada musim kemarau di Gunung Kidul ini banyak terjadi fenomena "sapi makan sapi".

Jika biasanya seorang warga di Gunung Kidul memiliki tiga sapi, pada musim kemarau masyarakat tidak dapat mempertahankan itu jumlah kepemilikan ternaknya.

Karena kelangkaan pakan ternak, maka satu dari tiga sapi itu akan dijual. Dan hasil penjualan sapi itu akan dibelikan pakan ternak yang berasal dari daerah lain.

Gubernur DIY ini menyebutkan bahwa dibutuhkan kurang lebih Rp250.000 per bulan untuk membeli pakan ternak dari daerah lain. Akhirnya ya, "sapi makan sapi" yang terjadi.

Oleh karena itu, Keraton menyambut hangat ketika DIY terpilih menjadi proyek percontohan  program Pengembangan Ekosistem Green Economy untuk Mendukung Net Zero Emission (NZE) Berbasis Keterlibatan Masyarakat di DIY dalam konteks Sustaninable Development Goals (SDG) – pembangunan berkelanjutan.

Putri sulung Sultan HB X, GKR Mangkubumi, menegaskan bahwa Keraton Yogyakarta memegang kuat filosofi Memayu Hayuning Bawana (memperindah indahnya dunia) untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat.

Sehingga proyek percontohan itu merupakan kerja sama antara PT PLN Energi Primer Indonesia, Pemerintah DIY, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Keraton Kasultanan Yogyakarta menyediakan tanah Sultan Ground    untuk dapat ditanami pohon-pohon yang mendukung semua kepentingan.

GKR Mangkubumi menyebut bahwa dengan kerja sama ini maka lingkungan terjaga, masyarakat mengambil manfaat dari daun-daun dari pohon yang ditanam dan PLN dapat menggunakan ranting-rantingnya untuk Co-Firing bagi PLTU yang dioperasikannya.

Bagi Keraton Yogyakarta, sebut GKR Mangkubumi, kerja sama proyek ini sesuai dengan filosofi yang dipegang erat oleh Kraton sejak berdirinya Keraton Mataram pada 1755. SDGs itu sesuai dengan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana.

Hamemayu itu bermakna memelihara lingkungan, menjaga kelestariannya dan harmoni alam. Hayuning itu bermakna, kecantikan, keindahan, keberadaan yang dianugerahkan Tuhan yang tidak boleh dirusak oleh manusia.

Sementara Bawana bermakna alam semesta, dunia sekitar, dan sumber kehidupan. Jadi Hamemayu Hayuning Bawana diterjemahkan sebagai segala tindakan untuk memelihara keindahan lingkungan alam semesta namun bermanfaat bagi kehidupan manusia dan masyarakat.

Keraton berharap bahwa SDGs dari PT PLN EPI di Kalurahan Karangasem dan Gombang benar-benar bisa dilaksanakan dan kemudian akan diikuti oleh daerah lain.

Karena bagi Keraton, SDGs itu tidak hanya kekuatan tetapi senjata ampuh untuk melestarikan alam.

Selama ini Keraton Yogyakarta juga mencoba menjaga lingkungan di DIY ini nyaman, aman, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Terkait dengan ekosistem yang ada di Yogyakarta, Keraton Yogyakarta mendukung program tersebut karena menjadikan lingkungan terjaga dan alam justru memberi kehidupan bagi semua makhluk.

Lurah Gombang, Kapanewon Ponjong, Gunung Kidul Supriyanto tidak membantah bahwa kisah "sapi makan sapi" itu memang ada.

Supriyanto mengisahkan, bahwa hampir setiap keluarga di kelurahannya memiliki sapi atau kambing. Kambing atau sapi bagi warga desa merupakan raja kaya (bahasa Jawa yang artinya harta benda) atau aset setiap keluarga. Hanya, masalah muncul seiring dengan hadirnya musim kemarau, yang disertai dengan kelangkaan pakan hewan.

Melalui program ini, sebanyak 50.000 bibit pohon pakan ternak yakni gamal, indigofera, gmelina atau jati putih, dan kaliandra merah ditanam penduduk di dua kelurahan tersebut secara bergotong-royong di areal seluas 30 hektare.

Bibit tersebut merupakan tanaman multifungsi. Daunnya bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan ranting-rantingnya bisa dimanfaatkan untuk menjadi biomassa serbuk kayu yang akan mendukung program co-firing biomassa di PLTU.

Tujuan program ini adalah menyediakan pakan ternak bagi daerah Kelurahan Gombang dan Karangasem Gunung Kidul. Dengan demikian, diharapkan nantinya pakan ternak tetap tersedia meski musim kemarau datang.

Ikhtiar yang dijalani secara kolaboratif tersebut diharapkan bisa memutus kutukan "sapi makan sapi" setiap musim kemarau di Gunung Kidul.

Warga dilibatkan dalam menentukan jenis bibit tanaman sesuai dengan kebutuhan untuk mengatasi persoalan kekurangan pakan. Oleh karena itu masyarakat adalah pelaku dan pihak yang memperoleh manfaatnya.

Lurah Karangasem Parimin menyampaikan    masyarakat berterima kasih, karena mereka telah diminta memilih bibit tanaman sesuai dengan kebutuhan pakan ternak. Masyarakat merasa terbantu menyelesaikan persoalan.

Dengan keterlibatan masyarakat pada setiap pelaksanaan program maka warga ikut merasa memiliki, turut menjaga, serta dan memastikan keberhasilan program tersebut.












 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023