... tata kelola yayasan, tata kelola PTS harus dijaga betul,
Jakarta (ANTARA) - Perguruan tinggi swasta (PTS) memiliki peranan penting dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul di Indonesia. Namun, sebagai institusi pendidikan, PTS juga kerap dilanda konflik internal, terutama antara pihak yayasan dengan pengelola.

Konflik tersebut bisa berimbas menurunnya kualitas lulusan PTS akibat fokus pengelola dan yayasan banyak tersita dalam pusaran konflik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 menyebutkan terdapat 3.975 perguruan tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dari jumlah tersebut sebanyak 3.792 di antaranya merupakan PTS.

Menyadari pentingnya peranan PTS tersebut, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto mendorong PTS agar dapat berkembang menjadi pusat keunggulan.

“Pengembangan perguruan tinggi, terutama PTS, sebagai pusat keunggulan harus didukung dan diwujudkan bersama,” ujar Wiranto pada pelantikan Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Akan tetapi, untuk mewujudkan semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dihadapi, misalnya, saja perbedaan kualitas antardaerah, perbedaan antarperguruan tinggi negeri (PTS) dan PTS, maupun perbedaan kualitas antar-PTS besar, menengah, dan kecil.

Tak sampai di situ, ada sejumlah tantangan lainnya seperti hambatan infrastruktur hingga pendanaan.

“Semua tantangan ini dapat kita atasi secara bersama. Saat ini Kemendikbudristek juga membangun ekosistem pendidikan tinggi yang lebih baik, salah satunya dengan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM),” terang Wiranto.

Ketua Umum ABPPTSI Prof. Thomas Suyatno  juga mengakui bahwa konflik internal berkepanjangan antara yayasan dan perguruan tinggi kerap dialami oleh PTS. Konflik tersebut berdampak pada kualitas perguruan tinggi tersebut.

Bahkan tak jarang polemik dan konflik tersebut melibatkan satu keluarga dan satu almamater. Penyelesaiannya pun tak cukup melalui jalan musyawarah, namun hingga pengadilan.

“Dunia perguruan tinggi khususnya PTS menghadapi ‘bukit’ masalah. Sekitar 60 persen PTS di Tanah Air ini juga kurang sehat,” kata Thomas lagi.

Bahkan dari laporan yang diterima ABPPTSI pada 8 Maret 2023, hanya 880 perguruan tinggi akademik dan 182 perguruan tinggi vokasi yang layak mendapatkan penilaian. Sebagian besar perguruan tinggi yang tidak bisa dinilai karena berada berstatus dalam binaan.

Untuk itu, Thomas mendorong PTS yang memiliki status unggul mau melakukan pembinaan pada PTS yang memiliki status di bawahnya. Tanpa kolaborasi, maka cita-cita PTS sebagai pusat keunggulan yang berperan penting dalam pembangunan SDM bangsa akan sulit terwujud.

“Terobosan MBKM harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kolaborasi juga harus terus ditingkatkan. PTS yang besar dimohon untuk mau membantu PTS menengah maupun yang memerlukan pembinaan khusus,” imbuh dia.

Ketua Yayasan Universitas Tarumanagara, Ariawan Gunadi, mengatakan tidak mudah mempertahankan eksistensi yayasan. Kata kuncinya adalah harmoni antara yayasan dan perguruan tinggi.

Kondisi itu tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga terjadi diberbagai wilayah di Tanah Air. Padahal jika yayasan mendukung maka perguruan tinggi dapat tumbuh dan berkembang menjadi kampus yang unggul.

Rektor Universitas Tarumanagara  Prof.  Agustinus Purna Irawan mengatakan pihaknya terus melakukan pembinaan pada PTS dengan kategori menengah dan kecil. Tak jarang utusan PTS tersebut yang datang ke kampusnya untuk belajar secara langsung.

Agustinus juga menilai perlunya upaya pengembangan lebih lanjut, terutama PTS dengan status unggul agar bisa meningkat ke level internasional.

Salah satunya dengan melakukan re-akreditasi secara otomatis sehingga PTS bisa menghemat energi dan mengalihkan sumber daya tersebut dengan berkolaborasi dengan perguruan tinggi internasional. PTS di Tanah Air, menurutnya, kualitasnya juga tak kalah dengan kampus yang ada di luar negeri.
 

Pondasi

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Prof. Nizam mengibaratkan yayasan sebagai pondasi atau tempat berpijak suatu bangunan yang tak lain adalah perguruan tinggi.

Jika pondasinya kuat, maka bangunan yang berdiri di atasnya pun akan dapat didirikan lebih tinggi. Akan tetapi jika pondasinya lemah, maka bangunan tersebut mudah roboh.

“Jika sudah roboh, korbannya banyak. Tidak satu atau dua PTS yang roboh. Oleh karena itu tata kelola yayasan, tata kelola PTS harus dijaga betul,” pesan Nizam.

Nizam memberikan catatan bagaimana agar pondasi suatu perguruan tinggi dapat menjadi  kokoh, di antaranya tata kelola yang sehat dan juga sumber daya yang solid.

Di Amerika Serikat, misalnya, endowment fund-nya atau dana abadi lebih dari Rp500 miliar. Bahkan Universitas Harvard, dana abadinya melebihi APBN Indonesia.

Yayasan, imbuh Nizam, jangan menjadi benalu bagi perguruan tinggi yang didirikannya. Jika hal itu terjadi, maka PTS akan sulit kokoh dan berkembang.

Dalam kesempatan itu, Nizam mengingatkan PTS untuk membangun kepercayaan publik. Hal itu karena banyak orang kaya di Indonesia yang memberikan bantuan justru pada perguruan tinggi di luar negeri.

“Kita perlu membangun kepercayaan publik dan kita yakinkan bahwa investasi terbaik adalah investasi pendidikan khususnya di perguruan tinggi. Investasi yang kecepatan hasilnya yang paling tinggi adalah di perguruan tinggi,” terang Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada itu.

Catatan berikutnya yakni kepemilikan. Saat perintis mendirikan yayasan, maka itu berarti memisahkan aset dari milik pribadi ke milik publik. Persoalan terjadi ketika pembina yayasan yang memiliki visi tersebut tidak lagi berminat mengelola yayasan, hingga terjadi gonjang ganjing.

Padahal, lanjut dia, apa yang sebenarnya diperebutkan pihak berkonflik itu. Apakah aset atau visi pendirian yayasan itu? Selayaknya visi pendirian itu yang harus dijaga oleh penerus yayasan. Pihaknya terus mengingatkan, agar konflik internal yang masih terjadi di PTS dapat terselesaikan dengan baik sehingga fokus utama perguruan tinggi dalam membangun SDM unggul tidak terpecah belah.











 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023