Muara krisis politik Mesir belakangan ini, yaitu dektrit Presiden Mohamed Morsi, berakar dari internal dan eksternal Ikhwanul Muslimin.

Revolusi tertunda 25 Januari 2011 menciptakan dilemma.  Satu sisi, revolusi ini sukses mendepak penguasa lama Mesir Hosni Mubarak, namun di sisi lain gagal mengikis otoriterisme dan korupsi yang membelit lembaga-lembaga negara, termasuk militer, kekuasaan kehakiman dan birokrasi.

Ironisnya pada Pemilu Maret 2011 rakyat malah menyetujui referendum menangguhkan konstitusi baru dan lebih memilih parlemen dan kepala negara baru. Mesir pun memasuki masa transisi paling tidak fungsional dalam sejarah politik modern.

Ketidaktepatan memaknai revolusi telah menciptakan pemerintah hibrida nan aneh, yaitu gabungan sisa-sisa rezim lama yang kontrarevolusi dan kubu pemenang pemilu, Ikhwanul Muslimin.

Padahal, dewan militer yang memandu masa transisi, bersama Mahkamah Konstitusi melalui dekrit konstitusi dan kekuasaan kehakimannya, telah membelokkan cita-cita revolusi.  Keduanya berusaha menciptakan tatanan politik seperti semasa rezim lama dengan mengambil manfaat dari kondisi yang ada sekarang.

Keduanya berusaha menciptakan kewenangan eksekutif tanpa pengawasan, membubarkan parlemen terpilih, dan memajukan tokoh masa lalu bernama Ahmed Shafi, demi menyunat insentif-insentif revolusi.

Melalui sayap politiknya Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Ikhawanul berusaha akomodatif sembari menegakkan cita-cita revolusi.  Tapi ini malah membuat kekuasan tidak ajeg karena menghadapi tentangan dari dalam kekuasaan, tepatnya dari sisa-sisa rezim lama.

Perseteruan ini kemudian berpuncak pada Pemilihan Presiden musim panas lalu. Morsi menang, tapi persaingan politik dalam sistem kekuasaan semakin memburuk, sampai kemudian Morsi menerbitkan dekrit yang menimbuikan amarah nasional.

Kemarahan terhadap dekrit Presiden --dan juga terhadap tawaran draft konstitusi-- bermuara dari kecurigaan sebagian kalangan terhadap Ikhanul Muslimin yang dianggap memiliki agenda terselubung.

Morsi pun dituduh diktator, bahkan disamakan dengan Firaun. Ini sungguh berlebihan.

Sejatinya, dengan sukses politiknya yang tiada tanding dalam setiap Pemilu, Ikhawanul semestinya tak perlu menggadaikan legitimasi demokrasinya karena ini malah menciptakan pertentangan yang dahsyat dalam internal kekuasaan.

Untuk itu, alih-alih dipandang sebagai upaya menantang rakyat, manuver Morsi belakangan ini semestinya dibaca sebagai bukti adanya persaingan internal antarlembaga kekuasaan.  Morsi berusaha meneguhkan kekuasaan parlemen terpilih, sebaliknya Mahkamah Konstitusi menolaknya.

Mahkamah Konstitusi berusaha membekukan majelis tinggi parlemen dan Majelis Konstituante sehingga Morsi bisa ditekan untuk memilih lagi konstituante baru untuk menyusun konstitusi Mesir.

Morsi tak ingin terjebak, dia justru membiarkan konstituante yang ada untuk menuntaskan tugasnya.

Terpolarisasi

Dekrit Morsi tak hanya memperkuat kekuasaan sang presiden dalam proses konstitusi, tapi membentengi komite konstituante dari ancaman pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi.

Lalu, jika Morsi memang kekurangan modal politik untuk memilih konstituante baru beranggotakan 100 orang demi menyusun konstitusi, dengan apakah dia membujuk oposisi untuk menerima dekrit atau draft konstitusi yang dihasilkan terburu-buru oleh konstituante yang telah ada?

Jawabnya diretas dari sejarah Ikhwanul Muslimin sendiri.

Organisasi ini memprioritaskan struktur hirarkis internal yang kuat dan ini telah mendisiplinkan segala lini organisasi.

Kendati didesak keras kaum mudanya untuk lebih luas merengkuh masyarakat dan melakukan perubahan struktur politik secara bertahap, kepemimpinan senior Ikhwanul yang di dalamnya termasuk Morsi dan Khairat al-Shater, malah mempromosikan sebuah Ikhawanul Muslimin yang picik yang dicurigai rakyat.

Ikhwanul bahkan ingkar dari janjinya semula untuk membatasi jumlah calon anggota parlemen pada Pemilu dan janji tidak akan mencalonkan kader-kadernya dalam Pemilihan Presiden.

Ikhwanul mungkin bisa mudah meempatkan orang-orangnya untuk berkuasa, namun struktur organisasinya yang tertutup, membuatnya sulit menjalin hubungan dengan para pesaing politiknya.

Kesukaan mereka dalam mengubur perbedaan pendapat demi kepentingan mayoritas, membuatnya dimusuhi dan dibenci sebagian orang, dan ini juga merenggut korban.

Korban terakhir dari kekakuan ini adalah konstitusi baru Mesir yang sudah dipolitisasi sedemikian jauh sehingga mengancam masa depan Mesir.

Proses konstitusi baru ini menciptakan polarisasi hebat dalam politik Mesir dan ini sudah terlihat dari demonstrasi besar mendukung dan menentang draft konstitusi belakangan ini.

Lalu Morsi kini ditantang untuk menjembatani polarisasi ini.

Beberapa unsur oposisi malah menganggap Morsi penghambat utama dalam menjembatani polarisasi ini.  Dia juga dipandang memperumit politik Mesir.

Sebagian orang pun kian intensif menentangnya.  Dalam keadaan ini, Ikhwanul mungkin akan terpaksa merekalkulasi kepemimpinan politiknya.  

Logika otoriterisme baru memang tak cocok untuk masa depan Mesir yang tak hanya demokratis tapi juga mencerminkan prinsip-prinsip pluralisme politik.

Disarikan dari "The logic behind Egypt's new authoritarianism", ditulis Abdullah Al-Arian, spesialis Timur Tengah dari Wayne State University, dalam Aljazeera.com

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012