sebagai strategi pelestarian
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumpulkan enam kosakata bahasa daerah di kawasan Indonesia Timur, kata Koordinator Penelitian Bahasa Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Abdul Rachman Patjik.

"Keenam bahasa daerah tersebut adalah Oirata, Gamkonora, Kao, Pagu, Kui, dan Kafoa," kata Abdul Rachman Patjik dalam konferensi pers "Pengembangan dan Perlindungan Kekayaan Budaya" di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, kosakata tersebut didapat dari penelitian yang dilakukan LIPI di kawasan Indonesia Timur, di mana banyak dijumpai kelompok etnis minoritas dengan rumpun non-Austronesia.

"Hasil penelitian menjawab perlu tidaknya dilakukan pemertahanan, dan dokumentasi sebagai strategi pelestarian," kata dia.

Ia mencontohkan penelitian memperlihatkan bahwa penutur Gamkonora di Halmahera Utara, bahasanya perlu dipertahankan karena masih dibutuhkan oleh masyarakat.

"Tampak dari adanya organisasi pemuda-mahasiswa yang masih senang menggunakan bahasa ini, tradisi yang tetap dilakukan oleh generasi mudanya, dan status tokoh desa yang secara tradisional cukup tinggi seperti Imam dapat membawa bahasa untuk tetap hidup," ujar dia.

Ia menjelaskan pemertahanan bahasa dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh politik seperti disekolah. Dengan catatan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan konflik karena beragamnya etnik dala satu wilayah minoritas.

"Karena bahasa etnik bisa punah karena aturan adat mereka sendiri, di antara hanya raja yg boleh mengakses dokumen-dokumen kuno tentang bahasa tersebut," ujar dia.

Ia menambahkan bahasa bagian dari kebudayaan sehingga harus dilestarikan. Bukan hanya untuk percakapan, lanjutnya tapi juga makna dari kebudayaan itu sendiri karena bahasa menunjukkan bangsa.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang mengatakan penelitian dilakukan di kawasan tersebut karena jumlah penutur bahasa ibunya itu kecil sehingga akan punah.

"Misalnya suku Pagu tidak berbicara dalam bahasa mereka, sampai orangtua tidak berbicara bahasa Pagu lagi. Yang masih bisa berbicara itu orang yang berusia 50 tahun ke atas," ujar dia.

Karena jumlah penutur, lanjutnya, menentukan sifat minoritas mereka, di samping keberadaannya yang dikelilingi oleh etnik-etnik dominan, kondisi sosial-ekonomi dan politik yang lemah.

"Punahnya bahasa bukan sekedar hilangnya alat komunikasi, tapi juga hilangya nilai-nilai budaya dan pengetahuan lokal yang terkandung di dalamnya,"kata dia.

(A063)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012