Bondowoso (ANTARA) - "Demi Allah, saya tidak ambil untung sepeserpun. Ini hanya berniat untuk membantu memudahkan orang yang mau bersedekah di momen Lebaran."

Pernyataan di atas meluncur dari seorang perempuan, sebut saja Nani, saat bercerita mengenai kebiasaannya setiap tahun membantu warga lainnya mendapatkan uang pecahan baru Rp2.000, Rp5.000, hingga Rp10.000 dan Rp20.000.

Penegasan dengan sumpah itu ia sampaikan karena sempat ada yang mengingatkan dengan nada keras bahwa mengambil keuntungan dari menjadi semacam "broker" penukaran uang pecahan kecil itu. Nani diingatkan bahwa mengambil keuntungan dari praktik penukaran uang itu sama dengan memakan uang "riba" alias uang tidak halal.

Jauh dari niat menangguk untung, apa yang dilakukan Nani sesungguhnya mengandung makna ibadah untuk menolong dan memberi kemudahan pada usaha orang lain.

Bagi Nani, menjadi perantara penukaran uang itu menjadi semacam pelipur lara hatinya saat ia tidak mampu berbuat ibadah dalam kategori besar. Kalau orang lain menambah koleksi ibadahnya di luar yang "mahdhah" dengan membangun masjid atau fasilitas ibadah umum lainnya, ia cukup membuat orang bahagia karena ikhtiarnya untuk berbuat baik kepada orang lain dimudahkan.

Ibadah "mahdhah" itu, seperti shalat puasa, zakat, haji, sementara kebaikan yang di luar mahdhah alias yang telah ditetapkan itu tergolong "ghairu mahdhah" atau di luar yang ditetapkan, seperti membantu orang lain atau memudahkan urusan orang lain.

Membantu orang mudah dalam melakukan ibadah sedekah, diyakini Nani juga mendapatkan barokah dari aktivitas tersebut. Karena itulah ia tidak pernah merasa beban dengan berepot-repot diri membantu orang lain mendapatkan uang pecahan baru, saat akhir bulan Ramadhan.

Warga banyak terbantu oleh upaya Nani saat bank membatasi jumlah penukaran uang pecahan dengan syarat si penukar harus merupakan nasabah bank yang dituju. Jumlahnya penukaran, misalnya hanya dibatasi Rp1.800.000 per nasabah. Selain dibatasi jumlahnya, warga juga harus antre lama di bank, padahal mereka yang hatinya dilapangkan untuk berbagi rezeki saat Lebaran itu terkadang butuh sampai Rp10 juta hingga Rp20 juta per orang. Kadang dari Rp10 juta atau Rp20 juta itu masih dibagi lagi dengan orang lain yang juga membutuhkan.

Di luar memudahkan warga menukar uang pecahan baru itu, Nani juga sering terlibat dalam kegiatan sosial menyantuni janda-janda yang hidupnya serba susah. Menyediakan kemudahan bagi orang yang membutuhkan uang pecahan itu hanya sebagian dari kebaikan yang telah membudaya dalam jiwa Nani.

Tuduhan miring telah mengambil untung dengan cara riba pada Nani itu bukan tidak mungkin sering kita lakukan. Seolah-olah apa yang dikerjakan oleh seseorang itu negatif, padahal sejatinya adalah perbuatan ibadah. Dari apa yang dialami Nani itu kita banyak belajar untuk tidak berprasangka buruk atau "su'udzon" pada orang lain.

Hal-hal yang terlihat sederhana, justru memiliki nilai ibadah tinggi di hadapan Allah. Jika ditelisik lebih dalam, bukankah apa yang dilakukan oleh Nani masuk dalam kategori "kuntum khaira ummah". Islam mengajarkan bahwa sebaik-baik umat itu adalah orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain.

Rasulullah bersabda, "Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Qadlaa’iy)

Meskipun hanya menjadi perantara penukaran, karena suami Nani memiliki akses ke sejumlah bank, bukan berarti apa yang harus dia kerjakan itu sederhana dan mudah.

Nani harus meluangkan tenaga dan waktu untuk mendata orang-orang yang memerlukan, termasuk berapa jumlah uang yang diperlukan.

Ketika uang pecahan itu sudah di tangan, ia harus menghitung ulang secara manual. Kemudian, jika pemesan tidak segera mengambil, Nani rela mengantarkan uang itu ke rumah si pemesan. Hal itu karena Nani tidak ingin menanggung risiko, misalnya rumahnya disatroni pencuri.

Secara pribadi ada "nasabah" yang merasa berutang budi, Nani kadang mendapatkan oleh-oleh, yang hal itu tidak pernah ia harapkan. Beruntung bahwa selama menjalankan bantuan itu tidak pernah mengalami kerugian, seperti tidak sesuainya jumlah uang yang diterima dari bank, termasuk para pemesanannya tidak membayar sesuai jumlah yang dipesan.

Melihat ibadah sosial yang dilakukan Nani, barangkali layak juga disandingkan dengan cerita hikmah tentang sufi mengenai adanya seorang pelacur dimasukkan ke surga oleh Allah SWT hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.

Perbuatan si pelacur kepada hewan saja bernilai ibadah kelas tinggi, apalagi jika hal itu dilakukan untuk membantu orang lain dalam menjalankan kebaikan, yakni ingin bersedekah uang di momen Lebaran.

Landasan lain dari ibadah memudahkan orang lain bernilai besar di hadapan Allah SWT itu adalah hadits berikut, "Saat seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya." (HR Bukhari).

Pelajaran besar dari yang dialami Nani ini adalah tidak ada hak kita untuk menilai orang lain, khususnya terkait ibadah.

Artinya banyak jalan menuju keridloan Allah, meskipun secara sosial ibadah seseorang itu mungkin hanya terlihat biasa-biasa saja. Kita hanya bisa melihat apa yang tampak dan tidak pernah bisa menyelami niat mulia seseorang yang secara kasat mata perbuatannya itu tidak tergolong sebagai ibadah. Salah satu pelajaran dari ibadah puasa di bulan Ramadhan ini adalah menjaga hati untuk tidak mudah menilai orang lain. Allah Mahatahu atas sesuatu.

 

Copyright © ANTARA 2023