Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid meminta hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk tidak mengabulkan gugatan Partai Berkarya terkait penundaan Pemilu 2024.
 
Menurut Hidayat, gugatan Partai Berkarya yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyetop seluruh tahapan Pemilu 2024 merupakan hal yang tidak sesuai dengan konstitusi negara, yakni Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
 
"Gugatan tersebut bukan hanya tidak pada tempatnya, melainkan juga bertentangan dengan konstitusi, karena UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali," katanya dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.
 
Hidayat membantah argumen Partai Berkarya yang merujuk kepada penundaan Pemilu di era Orde Baru pada tahun 1976 ke tahun 1977. Dia mengatakan, aturan konstitusi yang berlaku ketika itu berbeda dengan konstitusi yang berlaku setelah amandemen UUD 1945.
 
Selain itu, Hidayat juga mengatakan bahwa Indonesia tidak hanya pernah menunda Pemilu, tetapi pernah pula memajukan pelaksanaannya dari yang semestinya tahun 2003 dipercepat menjadi tahun 1999. Akan tetapi, kata dia, konstitusi pada saat itu tidak mengatur soal Pemilu.

Baca juga: KPU RI: Semua persiapan hadapi gugatan Partai Berkarya telah dilakukan

Baca juga: Majelis hakim PN Jakpus tunda sidang perdana gugatan Partai Berkarya
 
"Keduanya, baik penundaan di era Presiden Soeharto dan percepatan di era Presiden Habibie, itu terjadi karena memang UUD 1945 yang asli, yang berlaku pada era itu, tidak mengatur soal Pemilu dan pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun sekali," tutur Hidayat.
 
"Setelah hadirnya era Reformasi, sesuai tuntutan Reformasi, terjadilah amandemen terhadap UUD 1945, yang menghadirkan ketentuan baru terkait Pemilu. Aturan baru itu dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945," lanjut dia.
 
Adapun ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali." Aturan itu, kata Hidayat, yang menjadi pedoman untuk pelaksanaan Pemilu pada saat ini.
 
"Jadi, apabila ada yang meminta penundaan pemilu atau menyetop tahapan pemilu, maka permintaan itu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan harusnya ditolak oleh pengadilan," ucap Hidayat.
 
Lebih lanjut, dia meminta majelis hakim PN Jakpus untuk berkaca pada putusan terdahulu dalam gugatan Partai Prima. Menurut dia, keputusan PN Jakpus saat itu keliru dan menimbulkan kontroversi di masyarakat yang kemudian dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Baca juga: Ketua KPU optimistis gugatan Partai Berkarya di PN Jakpus akan ditolak
 
"Jangan sampai kesalahan serupa terulang kembali, dan di atas segalanya, hakim harus merujuk dan taat laksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD NRI 1945," imbuhnya.
 
Dia menambahkan, Mahkamah Agung (MA) juga perlu konsisten dan memberi teladan bagi pengadilan di bawahnya untuk menaati UUD NRI 1945. Hal itu agar semua pihak dapat fokus pada menyukseskan tahapan Pemilu 2024 yang telah berjalan.
 
"Dan juga untuk menghindari chaos politik karena inkonstitusional nya berbagai lembaga negara (Presiden, Kabinet, DPR, DPD, MPR) apabila pemilu diundurkan," papar Hidayat.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023