Jakarta (ANTARA) - Ramadhan dalam makna yang hakiki adalah bulan perdamaian karena madrasah Ramadhan mengajarkan kepada manusia untuk membangun kohesi sosial dengan cara merenungi, memahami, dan merasakan penderitaan orang lain selama sebulan lamanya.

Oleh karena itu,  bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat penting untuk membangun virtuous society atau masyarakat yang baik.

Madrasah Ramadhan menjalarkan ruh dan energi yang begitu indah. Hati seseorang yang menjalaninya menjadi lembut; tidak ada amarah, dengki dan ghibah terhadap sesama.

Madrasah Ramadhan mengajarkan kepada yang menjalaninya sebuah kesalehan sosial; mengajarkan sedekah, infak, zakat dan mengajarkan seseorang menjadi hamba Allah yang sakhie (dermawan).

Madrasah Ramadhan juga mengajarkan kepada yang menjalankan suatu kebahagiaan yang indah tatkala senang melihat saudara-saudara sesama bahagia. Itulah nilai perdamaian yang hakiki. Nilai perdamaian yang dibangun karena ketulusan, cinta dan spiritualitas kepada Allah SWT.

Bagi para pekerja dan pecinta perdamaian madrasah Ramadhan yang berakhir 1 Syawal dengan tibanya Idul Fitri bermakna perayaan kesucian atau kebersihan hati sebagai fondasi personal untuk membangun komunitas masyarakat penuh cinta dan perdamaian.

Pada 1 Syawal umat Islam di seluruh dunia memasuki satu momentum luar biasa yang disebut Idul Fitri. Artinya, kembali ke kondisi batin yang suci setelah menempanya selama sebulan lamanya.

Dosa-dosa batin dalam bentuk suka merusak tatanan sosial dengan cara mengadu domba sesama, menebar konflik, menyemaikan kekerasan, dan menumbalkan jiwa manusia untuk kepentingan pribadi atau politik semoga semuanya sudah lebar dan semua kembali fitrah (suci).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘lebar’ bermakna bersih, yang senapas dengan kata fitri. Berlebaran berarti merayakan kebersihan.

Madrasah Ramadhan juga mengajarkan manusia menahan amarah, ego, kebencian, serta mengajarkan kepada semua untuk mempunyai sifat empati, kejujuran, dan nilai-nilai positif lainnya.

Nabi Muhammad SAW bersabda: "jika sudah tiba hari puasa kalian, maka jangan ada salah satu dari kalian yang berkata kotor dan membuat keributan. Jika ada orang lain yang mencacinya atau membunuhnya, sampaikan pada orang itu bahwa aku sedang berpuasa," (HR. Muttafaq 'alaih).

Hadits tersebut menjelaskan hikmah berpuasa, yaitu melatih jiwa untuk bersih sifat buruk, seperti kebencian, keributan, konflik, permusuhan, apalagi peperangan.

Adapun perang Badar yang pernah Rasulullah SAW dan para sahabat lakukan pada 17 Ramadhan tahun kedua hijrah itu merupakan upaya Rosulullah dan para sahabat untuk mempertahankan diri sebagaimana hal itu termaktub dalam kitab Zadul Ma’ad karya Ibnu Qayim al-Jauziyah.

Umat Islam dengan 317 tentaranya kala itu diserang oleh pasukan kafir Qurays dengan kekuatan pasukan tiga kali lipat.

Beberapa alasan perang Badar di bulan Ramadhan antara lain umat Muslim diusir dari tanah kelahiran mereka Mekkah.

Setelah Hijrah ke Madinah, umat Islam masih tetap dizalimi, seperti barang dagangan mereka yang dirampok. Dalam kondisi umat Islam dizalimi, maka bertahan adalah kewajiban, sekalipun harus dilalui dengan menggelar peperangan. Sebaliknya, dalam kondisi aman dan damai, peperangan dilarang.

Misalnya, dalam ayat 193 surat al-Baqarah, Allah SWT mendorong umat Islam berperang sampai tidak ada fitnah dan permusuhan lagi kepada umat Islam. Tetapi, bila orang kafir berhenti memfitnah dan memusuhi, maka tidak boleh ada lagi permusuhan.


Agama Perdamaian

Agama di seluruh dunia, khususnya Islam, mengajarkan perdamaian dunia dan anti-peperangan.

Oleh karena itulah, para agamawan sebagai penyebar perdamaian dan anti-peperangan dilindungi dalam aturan Hukum Humaniter Internasional.

Misalnya, pada Aturan ke-3, Hukum Humaniter Internasional menyebutkan: All ll members of the armed forces of a party to the conflict are combatants, except medical and religious personel. Agamawan dan dokter bukan kombatan.

Dalam rangka memperkuat karakteristik pecinta damai, Islam mengajarkan umatnya untuk berpuasa. Puasa yang berhasil adalah puasanya orang-orang yang cinta damai, mulai dari berdamai dengan dirinya sendiri, dengan keluarga dan lingkungannya, dengan bangsa dan negaranya, sampai berdamai dengan dunia.

Muslim yang berhasil menjalankan puasa tidak akan memiliki kebencian. Sebab, berpuasa dengan benar akan melahirkan jiwa yang mampu menahan diri dari berkata kotor dan bertindak yang mengundang keributan, baik dalam kondisi terhina maupun terancam perang.

Artinya, Lebaran bukan saja merayakan kebersihan jiwa setelah berpuasa, tetapi Lebaran bagi seorang Muslim adalah merayakan kebersihan hati dari kebencian, permusuhan, dan konflik sehingga mampu menciptakan pribadi yang damai. Sehingga, merayakan Idul Fitri berarti merayakan semangat perdamaian sebagai hasil dari tarbiyah madrasah Ramadhan.

Hari Raya Idul Fitri dan perdamaian adalah dua keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Ibnu Katsir, mufasir dan ulama kenamaan dari Busra, Suriah.

Seorang Muslim harus mampu menyemaikan pesan perdamaian yang termaktub di dalam al-Quran Surah al-Baqarah ayat 208.

Menjadi seorang Muslim yang kafah adalah menjadi Muslim yang cinta pada perdamaian. Seorang Muslim yang merayakan kebersihan hati bak seorang bayi polos dipelukan ibunya.

Tak ada setitik pun ia memiliki iri dan dengki. Hatinya hanya dipenuhi dengan sifat-sifat kerohanian yang selalu merayakan hari-harinya dengan semangat Idul Fitri. Semangat untuk senantiasa merayakan kehadiran perdamaian yang abadi untuk sesama.



*) Mujahidin Nur adalah Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia.

Copyright © ANTARA 2023