Khartoum, Sudan (ANTARA) - Konflik di Sudan terhenti sementara setelah kedua pihak menyetujui gencatan senjata selama tiga hari, sehingga memungkinkan penduduk Sudan untuk melarikan diri, serta negara-negara lain untuk menyelamatkan warganya.

Perang yang pecah antara tentara Sudan dan grup paramiliter Pasukan Bantuan Cepat (RSF) pada 15 April mengubah pemukiman warga menjadi medan perang.

Sebanyak 459 orang tewas dan 4.000 lebih lainnya dilaporkan terluka dalam kejadian itu. Sudan, yang selama ini bergantung pada bantuan dari luar, kini tidak memiliki daya listrik, air, ataupun makanan.

Negara-negara lain sudah menyelamatkan staf kedutaan besarnya dari Khartoum, setelah berbagai serangan terhadap para diplomat, termasuk satu yang menewaskan atase Mesir yang hendak bekerja. Beberapa negara juga mulai mengevakuasi warganya.

Pada Selasa, Inggris menggencarkan evakuasi skala besar untuk menyelamatkan warganya, menggunakan pesawat-pesawat militer yang terbang dari landasan udara di bagian utara Khartoum. Prancis dan Jerman menyebutkan bahwa mereka sudah mengevakuasi 500 orang dari berbagai negara.

Warga lokal Sudan juga memanfaatkan jeda dalam peperangan tersebut untuk keluar dari rumah mereka, setelah terjebak lebih dari sepekan, untuk mencari transportasi yang akan membawa mereka ke tempat aman.

Mereka khawatir bahwa kepergian orang-orang asing akan menimbulkan bahaya lebih besar bagi warga lokal.

"Mungkin momen tersulit adalah memikirkan tentang pergi meninggalkan negara ini," kata Intisar Mohammed El Haj, seorang warga Khartoum. Dia mengatakan bahwa dia dan anak-anaknya bersembunyi di bawah kasur, berlindung dari suara-suara ledakan, sebelum akhirnya keluarga itu kabur ke Mesir.
Baca juga: China evakuasi 1.000 warganya dari Sudan secara bertahap

Puluhan ribu orang kabur ke Chad, Mesir, Ethiopia, dan Sudan Selatan, meski situasi di negara-negara itu juga tidak menentu.

Situasi di Sudan semakin memburuk bagi yang menetap di negara berpenduduk 46 juta itu. Beberapa orang mengungkapkan rasa cemasnya perihal kepergian bala bantuan asing dan para diplomat.

Pada Selasa (25/4), Kantor Urusan Kemanusiaan PBB mengumumkan bahwa mereka menghentikan beberapa operasinya karena konflik yang berlangsung.

Satu warga Khartoum, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan bahwa dia takut apabila hanya ada sedikit pihak internasional yang ada di sana, pihak-pihak yang bertikai akan semakin tidak menghargai warga lokal.
Baca juga: PBB hentikan sebagian operasi kemanusiaan di Sudan karena konflik

Yassir Arman, tokoh penting dalam koalisi politik sipil Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC), mendesak organisasi-organisasi kemanusiaan dan komunitas global untuk membantu memperbaiki akses air dan listrik, serta mengirimkan generator ke rumah sakit.

"Banyak mayat bergelimpangan di jalanan dan juga orang-orang sakit yang tidak bisa menemukan obat, tidak ada air ataupun listrik. Warga harus diperbolehkan untuk mengubur keluarganya yang mati di tengah gencatan senjata," katanya.

Menurut badan-badan PBB, stok makanan, air bersih, obat, dan bahan bakar hanya sedikit. Jaringan komunikasi dan listrik juga terbatas, dan harganya naik drastis, tambah mereka. Warga melaporkan bahwa harga satu tiket bis ke Mesir naik sampai enam kali lipat, dipatok pada 340 dolar AS (sekitar Rp 5 juta).

RSF menuduh tentara Sudan tidak mematuhi gencatan senjata selama 72 jam yang disetujui pada Senin (24/4) serta penyerangan terhadap pasukan paramiliter tersebut di istana kepresidenan di Khartoum.

Kementerian Luar Negeri menuduh RSF menyerang para diplomat, termasuk pembunuhan diplomat Mesir itu.

Tentara Sudan mengatakan bahwa AS dan Arab Saudi sudah menginisiasi gencatan senjata.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengumumkan hal tersebut terlebih dahulu, dan mengatakan bahwa ada dua hari berselang yang penuh dengan negosiasi intensif.

Beberapa upaya gencatan senjata sebelumnya gagal untuk bertahan lama.
Baca juga: EU berhasil evakuasi 1.000 warganya dari Sudan

Seorang saksi mengatakan pada Reuters bahwa dia mendengar rentetan suara senapan pada Selasa pagi di Omdurman, yang berdekatan dengan Khartoum.

Sebelum pengumuman gencatan senjata pada malam, Omdurman dihujani serangan dari udara, dan jalanannya dijejali berbagai pertarungan. Begitu pula Khartoum.

Asap tebal menutupi langit di sekitar bandara Khartoum, dekat markas militer, dan tanah diguncang oleh serangan artileri.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa konflik yang mendera negara yang dekat Laut Merah, Tanduk Afrika, dan wilayah Sahel "membawa risiko yang dahsyat yang bisa mengobarkan wilayah itu dan sekitarnya".

Sumber: Reuters

Baca juga: Wakil Ketua MPR apresiasi Kemlu dan TNI atas evakuasi WNI di Sudan

Penerjemah: Mecca Yumna
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023