Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyatakan pemanfaatan teknologi digital dunia pendidikan harus diimbangi dengan adanya upaya perlindungan data bagi pengguna, baik siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah dan sebagainya.

“Human Right Watch (HRW) mencatat 164 Perusahaan Teknologi Edukasi (Edtech) di dunia melanggar privasi anak termasuk di Indonesia," kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri di Jakarta, Selasa.

Pemerintah Indonesia sendiri saat ini sedang gencar menerapkan teknologi digital dalam dunia pendidikan sebagai upaya memperbaiki learning loss yang terjadi akibat pandemi COVID-19.

Hal itu juga menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Education Working Group (EDWG) G-20 yakni Indonesia mengajukan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan sebagai jalan keluar krisis dan masa pemulihan setelah COVID-19.

Baca juga: P2G imbau pemerintah bentuk gugus tugas kekerasan di satuan pendidikan

Baca juga: P2G: Hardiknas jadi momentum jawab kebutuhan tenaga guru di Indonesia


Di sisi lain, Iman menuturkan learning loss masih tetap terjadi pada anak di Indonesia meskipun kementerian dan berbagai Perusahaan Teknologi Edukasi (Edtech) dalam negeri bergandengan untuk mensukseskan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

“Bukannya mengembalikan pembelajaran yang hilang justru data anak kita malah ditambang oleh Edtech,” ujarnya.

Bahkan Human Right Watch (HRW) mencatat terdapat 164 Edtech di dunia yang melanggar privasi anak termasuk di Indonesia dan Edtech tersebut juga justru melakukan praktik menambang data selama pandemi.

"Penambangan data juga terjadi pada guru. Beragam pelatihan digital serta kurikulum merdeka justru diinisiasi Edtech yang merasa lebih memahami kurikulum merdeka," kata Iman.

Sebagai contoh, Dinas Pendidikan di Jakarta bekerja sama dengan salah satu platform swasta yang mewajibkan guru, orang tua, siswa dan sekolah mengisi modul.

Dalam modul tersebut sejumlah pertanyaan adalah data pribadi dan data lain yang bisa digunakan untuk memetakan prilaku seseorang atau konsumen.

Terlebih lagi, akibat belum mampunya kementerian membangun data awan atau cloud yang berdaulat maka kementerian membuat kebijakan akun belajar yang ternyata sebenarnya adalah paket layanan dari Google.

Paket layanan dari Google tersebut bisa menyerap semua data dari dinas pendidikan, sekolah, siswa, guru bahkan mengetahui aktivitas mereka secara terperinci.

Selain itu, keberadaan Platform Merdeka Mengajar (PMM) oleh Kemendikbudristek membuat guru-guru selalu ditekan oleh sekolah, pengawas dan dinas pendidikan agar segera menginstal aplikasi tersebut.

Dinas Pendidikan pun juga melakukan pengecekan terhadap sekolah dan guru sehingga terdata bagi guru yang tidak menginstal dan mengerjakan tumpukan tugas di dalamnya.

Tak hanya itu, masifnya penggunaan platform dalam pendidikan juga harus diantisipasi karena melahirkan Artificial Intelligence (AI) yang dibuat dengan logaritma sehingga menguntungkan pembuatnya.

Oleh sebab itu, P2G meminta pemerintah untuk membuat protokol AI for Education (AIED) seperti yang dilakukan di Uni Eropa yakni berupa batasan etis, privasi, potensi lahirnya bias, dan pengutamaan hak yang berkeadilan dalam pendidikan.

"Kontrol AI dalam pendidikan akan semakin besar. Protokol AIED harus segera dibuat pemerintah agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan bukan tujuan komersil pembuat Platform," kata Iman.*

Baca juga: P2G: Hardiknas jadi momentum evaluasi program Merdeka Belajar

Baca juga: P2G minta kepastian nasib 3.043 guru PPPK formasi P1 yang dibatalkan

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023