De Dooms, Afrika Selatan (ANTARA News) - Polisi Afrika Selatan menembakkan peluru karet untuk membubarkan ratusan petani dari perkebunan anggur kawasan sebelah barat Cape Town, Rabu.

Bentrok yang pertama kali terjadi dalam setahun terakhir dan kemungkinannya aksi tersebut dimotori oleh gerakan buruh.

Para petani tersebut memblokade, membakar ban dan melempari setiap kendaraan yang lewat di jalan tol kawasan kilometer 100 sebelah timur Cape town.

Sejumlah polisi antihuru-hara dan satu kendaraan lapis baja menembakkan peluru karet untuk membubarkan massa.

Negara ekonomi terbesar Afrika itu mengalami kerusuhan sejak dibukanya industri pertambangan platinum.

Polisi dilaporkan membunuh 34 orang pekerja pertambangan platinum Marikana pada Agustus yang memperburuk reputasi Afrika Selatan di mata penanam modal.

Para analis mengharapkan sektor pertambangan mampu memicu pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen di tahun ini mengingat pertambangan emas dan batubara mampu mempekerjakan 250 ribu orang.

Padahal Afrika Selatan membutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen agar angka pengangguran bisa turun 25 persen.

"Tak bisa diragukan, apabila kita membuat agenda ekonomi tahun ini maka buruh harus diperhatikan," lapor Harian Bisnis Afrika "Business Day" dalam tajuk rencananya.

Para petani anggur dari kawasan Cape sebelah utara melakukan mogok kerja pada Desember dan membakar gudang minuman anggur. Dua orang tewas dalam aksi mereka setelah bentrok dengan polisi.

Petani tersebut kebanyakan adalah pekerja kulit hitam yang bekerja untuk kelompok minoritas kulit putih. Mereka biasa memetik dan mengemas buah dengan upah harian 69 rand (8 dolar AS) tapi kini mereka menuntut kenaikan upah dua kali lipat.

"Kami harus berjuang hidup dengan 8 dolar per hari. Tahun ajaran baru sekolah dimulai dan kami tidak memiliki uang untuk membeli seragam untuk anak-anak kami," kata Lena Lottering, ibu tiga orang anak.

"Tidak ada makanan di meja kami dan anak saya terpaksa tidur kelaparan."

Pekerja lainnya, Aubrey Louw (47 tahun) mengaku bekerja sejak tahun 1970-an dengan gaji 45 rand sehari.

"Kami ingin kenaikan upah. Mereka lebih suka merekrut keamanan dan membeli mobil baru daripada membayar kami," kata dia.

Pimpinan persatuan buruh menyalahkan orang kulit putih yang melakukan tindakan rasial paska berakhirnya aparteheid setelah 18 tahun berlalu.

"Kami telah bertemu dengan kulit putih pelaku rasisme yang arogan," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Pekerja Pertanian Bawsi, Nosey Pieterse, dikutip Reuters.

(A061)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013