Setelah dilakukan revisi diharapkan `masterplan` nanti memiliki payung hukum yang jelas agar semua departemen atau kementerian dapat menjalankan dengan baik program-program dan kegiatan pembangunan dalam mengantisipasi risiko bencana,"
Yogyakarta (ANTARA News) - "Masterplan" atau rencana induk tentang pengurangan risiko bencana yang disusun Badan Nasioal Penanggulangan Bencana perlu direvisi, karena masih bersifat identifikasi program, belum operasional, kata pakar kebencanaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sudibyakto.

"`Masterplan` yang sudah dibuat Badan Nasioal Penanggulangan Bencana (BNPB) masih perlu disempurnakan. Hal itu dilakukan agar `masterplan` yang ada dapat dijalankan dengan baik dalam rangka mengurangi risiko bencana di Indonesia," katanya usai diskusi `Review Masterplan Pengurangan Risiko Bencana`, di Pusat Studi Bencana UGM Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, pada Juni 2012 BNPB mengeluarkan "masterplan" pengurangan risiko bencana tsunami. "Masterplan" itu akan menjadi acuan dalam penyusunan program dan kegiatan pembangunan untuk mengantisipasi bencana tsunami.

"`Masterplan` itu dibuat berdasarkan pengalaman gempa bumi yang terjadi di Aceh, dengan empat program utama yakni pengembangan sistem peringatan dini, tempat evakuasi sementara (TES), kesiapsiagaan, dan industri kebencanaan," kata Guru Besar Fakultas Geografi UGM itu.

Ia mengatakan "masterplan" yang dibuat lemah dalam hal pertanggungjawaban secara ilmiah karena disusun tanpa didasari dengan hasil-hasil penelitian yang lebih rinci untuk beberapa wilayah rawan gempa dan tsunami.

Dengan demikian, berbagai program dan kegiatan pembangunan untuk mengantisipasi bencana tsunami hanya sia-sia, seharusnya disusun atas dasar hasil penelitian yang mendalam.

"`Masterplan` tersebut juga akan menjadi tidak berarti jika tidak memiliki kejelasan kedudukan dalam hukum. Untuk itu, setelah dilakukan revisi diharapkan `masterplan` nanti memiliki payung hukum yang jelas agar semua departemen atau kementerian dapat menjalankan dengan baik program-program dan kegiatan pembangunan dalam mengantisipasi risiko bencana," katanya.

Menurut dia, jika hanya dengan Peraturan Kepala BNPB dikhawatirkan tidak operasional karena kementerian ada keengganan meneruskan hal tersebut.

Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Pemerintah sehingga semua departemen bisa menjalankan dengan baik.

"Ke depan diharapkan dalam penyusunan `masterplan` melibatkan partisipasi daerah, karena yang terjadi saat ini daerah banyak yang kaget mengapa tiba-tiba dibangun TES tanpa sepengetahuan mereka," katanya.

Ia mengatakan "review" terhadap pendanaan yang terlalu besar dalam program pengurangan risiko bencana juga penting dilakukan. Dana yang dianggarkan untuk kegiatan tersebut sekitar Rp17 triliun.

Padahal, dalam upaya pengurangan risiko bencana tidak membutuhkan biaya sebesar itu. Pembangunan fisik memang memerlukan biaya besar, tetapi efektivitas pengurangan risiko bencana tidak semata-mata pada fisik bangunan.

"Dengan biaya yang tidak begitu besar pun sebenarnya bisa dicapai efektivitas pengurangan risiko bencana, di antaranya dengan membuat masyarakat menjadi tanggap dan lebih peka terhadap sistem peringatan dini," katanya.

(B015*H010/M008)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013