Tanjung Selor (ANTARA) - Kehidupan warga pedalaman dan hutan, sebagai lingkungannya ibarat "ikan dan sungai (air)". Kelestarian alam sangat memengaruhi kehidupan sosial-ekonomi di sana.

Ini bukan sekadar filosofis, namun ada hubungan sangat erat antara kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga pedalaman terhadap kelestarian alam.

Berburu dan mengambil hasil hutan menjadi bagian penting dalam kehidupan suku Dayak. Hamparan pepohonan yang sebagian berusia ratusan tahun menyediakan kebutuhan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Sebut saja warga pedalaman Kalimantan Utara di Long Nyau Kecamatan Sungai Tubu Kabupaten Malinau. Di sana hampir seluruh kebutuhan hidup mereka, terutama pangan dan rumah, dipenuhi dari hutan yang ada di sekitar mereka.

Kedekatan dengan hutan, menjadikan desa yang dihuni warga Punan (salah satu subetnik Dayak)  terjaga hutannya dengan baik. Sebab, kerusakan lingkungan bisa menyusahkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kepala Desa Long Nyau, Lukas Luwau, menceritakan jika mereka mencari buruan tidak boleh mengambil semua yang tersedia di alam, tapi mengambilnya harus berdasarkan kebutuhan saja.

Filosofi "mengambil sesuai kebutuhan" ditandai dengan satu orang yang berburu di desa dan ketika mendapatkan hewan buruan maka hasil buruan akan dibagi untuk semua penduduk kampung.

Buruannya juga tidak boleh sangat banyak. Misalnya, ada hewan yang sedang bergerombol dan banyak yang bisa ditangkap, maka mereka hanya boleh mengambilnya dua ekor, karena dua ekor sudah cukup untuk semua orang di kampung.

Demikian juga untuk menangkap ikan di sungai, hanya diambil sesuai kebutuhan saja. Tidak ada panen besar-besaran di sungai yang mengalir jernih di antara bebatuan dengan ikan Pelian (jenis ikan asli pedalaman Kaltara).

Menjaga pasokan pangan dengan membatasi tangkapan sesuai dengan kebutuhan adalah bentuk pelestarian sumber daya alam yang dilakukan masyarakat pedalaman.

Ketergantungan yang tinggi dengan hutan menjadikan masyarakat mengelola hutannya dengan baik. Tak ada tindakan berlebihan yang mereka lakukan.

Secara filosofi, warga Dayak setempat menyebutnya "Lunang Telang Ota Ine" atau "hutan sebagai air susu ibu". Jadi menjaga hutan adalah menjaga kehidupan.

Hanya saja, keberadaan hutan di sekitar masyarakat belum tentu sepenuhnya dikelola oleh masyarakat. Harus diakui, dalam perekonomian sekarang, semua menghadapi kehidupan industrialisasi, termasuk bidang perhutanan.

Kehadiran sektor swasta mengelola hutan, merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Di Desa Long Nyau misalnya, warga desa terkaget begitu ada perusahaan yang tiba-tiba sudah beroperasi di wilayah mereka.

Seperti dituturkan Suan Kirut, tokoh masyarakat Long Nyau yang tak mengira jika hutan yang selama ini mereka jaga sudah berbagi pengelolaan dengan sebuah perusahaan perhutanan yang mengantongi izin perhutanan.

Seperti warga pedalaman lain, Suan Kirut berharap agar mereka mendapat pengakuan dan diberi kewenangan dalam mengelola hutan sesuai tradisi sejak ratusan mungkin ribuan tahun silam.


Perhutanan Sosial

Pemerintah tentu merasakan kondisi itu sehingga berupaya mencari solusi untuk mempertemukan aspirasi masyarakat dengan denyut industri perhutanan, perkayuan dan perkebunan. Solusinya adalah program Perhutanan Sosial.

Adanya program Perhutanan Sosial warga setempat bisa mengajukan hak kelola hutan dan mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perhutanan sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.

Dalam pengelolaannya ada tiga pilar, yakni tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan dan tata kelola usaha.

Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial menjadi acuan terbaru kebijakan pengelolaan perhutanan sosial yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Guna mendukung program Perhutanan Sosial, Pemprov Kalimantan Utara telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 46 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perhutanan Sosial Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian, diharapkan sumber daya hutan yang besar di Kalimantan Utara pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal dan lestari untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Pemprov Kaltara juga menempatkan Perhutanan Sosial sebagai program strategis dalam mengatasi berbagai persoalan terkait kehutanan. Hal itu tercermin dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kehutanan tahun 2021 – 2026 yang memuat strategi, kebijakan, program dan kegiatan dalam menyelenggarakan pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Utara selama 5 tahun ke depan.

Program perhutanan sosial juga menjadi program prioritas dan strategis dalam mencapai visi dan misi Kaltara serta sinergis dengan visi dan misi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam pembangunan kehutanan terkait pembangunan nasional.

Renstra tersebut, menjadi panduan bagi seluruh unit kerja lingkup Dinas Kehutanan dalam mencapai target-target sasaran program pembangunan daerah di antaranya program Perhutanan Sosial di provinsi berpenduduk sekitar 700.000 jiwa itu.

Kegiatan pengembangan perhutanan sosial di Kaltara telah dimulai sejak 2017. Target luasan perhutanan sosial di Kaltara berdasarkan Peta Indikatif Perhutanan Sosial revisi VI adalah seluas 288,030 ribu ha dari target Perhutanan Sosial secara Nasional seluas 12,7 juta ha.

Realisasi Perhutanan Sosial Kaltara hingga 2022 sebesar 106.016 ha. Sebagai salah satu bentuk komitmen Kaltara dalam memastikan program perhutanan sosial setempat dapat berjalan sesuai target dan tepat sasaran maka gubernur membentuk Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS). Pembentukan pokja tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 188.44/K.101/2021, yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, UPT Kementerian LHK, NGO/LSM, Perguruan Tinggi dan para pihak yang terkait dengan Perhutanan Sosial.


Penguatan kelembagaan

Perhutanan Sosial juga harus diikuti dengan penguatan kelembagaan di tingkat pengelola hutan. Hal ini merupakan kunci penting untuk keberhasilan pengelolaan hutan dan menjadi indikator untuk mengukur keberhasilan pengelolaan hutan.

Salah satu organisasi yang punya komitmen tinggi dalam mendukung berbagai program tersebut, baik program Perhutanan Sosial maupun penguatan kelembagaan adalah Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Warsi merupakan organisasi non-pemerintah yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Warsi dideklarasikan pada 27 Desember 1991. Organisasi ini fokus melakukan pendampingan pada pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dengan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam kegiatan itu.

Penguatan kelembagaan penting dilakukan, apalagi jika merujuk pada aturan dan tata kelola perhutanan sosial, masyarakat merupakan pelaku utamanya di program ini.

Koordinator Program KKI Warsi, Furwoko Nazor, mengakui penguatan kelembagaan merupakan untuk untuk menggali potensi, kearifan lokal dan tata kelola yang sudah ada di masyarakat. Kemudian, dikuatkan kembali, sehingga masyarakat mampu mempertahankan nilai-nilai yang ada di tengah mereka.

Warsi di Kaltara fokus melakukan pendampingan pada pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dengan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam kegiatannya.

Penguatan kelembagaan penting dilakukan,  sebab merujuk pada aturan dan tata kelola perhutanan sosial, masyarakat merupakan pelaku utamanya di program ini.

Masyarakat yang mengajukan hak kelola kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan kelengkapan yang disyaratkan aturan perundangan. Perhutanan sosial mengharuskan pengelolaan dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok pengelola, tergantung dengan pilihan skemanya.

Kelompok-kelompok itu berkewajiban untuk menyusun rencana kerja. Harapannya rencana kerja ini disusun dengan baik dengan mempertimbangkan potensi, sumber daya dan kemampuan kelompok guna mengoptimalkan pengelolaan yang dilakukan sehingga perhutanan sosial ini bisa memberikan manfaat secara ekonomi dan ekologi.

Terkait penguatan kelembagaan itu, Warsi bersama LP3M (Lembaga Perencanaan, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat) dengan dukungan TFCA (Tropical Forest Conservation Act) Kalimantan membangun aplikasi PRM AID (Potensi Ruang Mikro Aplikasi Informasi Desa) yakni  sistem informasi desa.

Web desa ini sangat berperan dalam "menjual potensi desa" serta "mewartakan" berbagai peristiwa penting misalnya seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan.

Warsi juga rutin menggelar peningkatan kualitas sumber daya masyarakat sekitar hutan. Misalnya, mengadakan pelatihan penyulingan limbah gaharu menjadi komoditas bernilai tinggi di Desa Pelancau, Kecamatan Malinau Selatan, belum lama ini.

Warsi juga membantu warga setempat dalam mendapatkan izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) di Dinas Kesehatan Malinau sehingga harga madu tradisional yang dulunya murah kini lebih bernilai tinggi.

Pemerintah melalui program Perhutanan Sosial mendapat dukungan Warsi dalam penguatan kelembagaan bagi warga pedalaman. Kini ada asa hutan Kaltara bisa menjadi percontohan di Kalimantan, yakni pengelolaan hutan yang lestari berbarengan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
 

Copyright © ANTARA 2023