Kupang (ANTARA News) - Warga negara Indonesia (WNI) yang merantau ke Dili, Timor Leste, untuk mencari nafkah di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu, merasa sudah tidak betah lagi untuk terus bertahan di ibukota negara termiskin di dunia itu, karena situasi keamanan di wilayah itu dilaporkan bertambah menyeramkan dari hari ke hari. "Pada hari Sabtu dan Minggu, tercatat sekitar 12 warga negara kita yang masuk ke Indonesia melalui pintu perbatasan darat di Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) karena merasa sudah tidak nyaman lagi untuk terus bertahan di ibukota negara itu," kata Pelaksana Harian Kepala Kantor Imigrasi Atambua di Kabupaten Belu, Benny Hale, ketika dihubungi ANTARA dari Kupang, Senin. Seperti WNI yang sudah masuk sebelumnya, ke-12 WNI dari Dili dengan menggunakan sarana angkutan umum, namun tetap dalam pengawasan pasukan asing pimpinan Australia yang ditugaskan PBB untuk memulihkan situasi keamanan di wilayah bekas koloni Portugis itu untuk mencegah perang saudara setelah Perdana Menteri Mari`e Alkatiri memecat sekitar 600 anggota tentara di negara itu. Ratusan tentara yang dipecat di bawah komando Mayor Alfredo Reinado itu bersama mayoritas rakyat Timor Leste lainnya terus-menerus menuntut agar Mari`e Alkatiri segera turun dari kursi perdana menteri, karena pria turunan Arab itu dituduh sebagai biang kerusuhan di Timor Leste dalam dua bulan terakhir ini. Lebih dari 20 warga Timor Leste dilaporkan tewas dalam berbagai insiden baku tembak antara kelompok pemberontak pimpinan Mayor Alfredo dengan aparat keamanan yang masih setia kepada PM Alkatiri. Namun, situasi keamanan di Kota Dili dilaporkan berangsur-angsur pulih dari aksi tembak menembak setelah lebih dari 2.000 pasukan asing pimpinan Australia diterjunkan ke wilayah itu, namun aksi pembakaran, penjarahan dan pencurian masih terus saja terjadi akibat rakyat dihimpit bahaya kelaparan. Pasukan organik dari Forcas Defesa de Timor Leste (FDTL -- Angkatan Perang Timor Leste) diinstruksikan masuk barak oleh pasukan asing, sementara kaum pemberontak pimpinan Mayor Alfredo tampaknya tidak dicegah oleh pasukan asing, dan malah melakukan serangkaian pertemuan dengan tokoh pemberontak itu. Sumber-sumber resmi menyebutkan kaum pemberontak bersama mayoritas rakyat Timor Leste memberi batas waktu (deadline) kepada PM Mari`e Alkatiri untuk menjalankan pemerintahan di negara itu sampai 20 Juni 2006, dan meminta Presiden Xanana Gusmao untuk mengambil alih semua urusan pemerintahan di negara itu. Para pemimpin pemberontak Timor Leste, menurut Kantor Berita AFP, tengah merancang satu konperensi untuk mencari cara-cara mengubah konstitusi negara yang memberikan peluang kekuasaan Presiden Xanana Gusmao diperbesar. Mayor Alfredo Reinado, yang menyatakan bahwa ia pemegang komando para prajurit yang dipecat, mengatakan bahwa ia dan sekutu-sekutunya di samping beberapa intelektual yang tak disebutkan namanya, merancang akan mengadakan satu konperensi dalam pekan ini untuk membahas perubahan konstitusi itu. Ancaman kelompok pemberontak Timor Leste terkesan bertubi-tubi, namun PM Mari`e Alkatiri menyatakan tidak akan mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri, kecuali korban terus berjatuhan di Timtim. Situasi politik dan keamanan di dalam negeri Timor Leste yang serba tidak menentu dan sangat menyeramkan dari hari ke hari itu membuat WNI yang mencari nafkah hidup di Kota Dili dan sekitarnya memilih untuk meninggalkan ibukota negara itu untuk mencari keselamatan jiwa. Hingga kini sejak 4 Juni lalu, kata Benny Hale, sudah tercatat sekitar 35 WNI meninggalkan ibukota negara kecil dan termiskin itu serta 14 warga negara asing asal Brasil dan Pakistan melalui pintu perbatasan darat Indonesia di Motaain karena terus memanasnya situasi keamanan di Kota Dili. Pemerintah Indonesia juga telah mengambil langkah-langkah dengan mengevakuasi lebih dari 1.400 warga negaranya dari Dili menuju Kupang melalui udara dengan menggunakan pesawat Hercules milik TNI-AU. (*)

Copyright © ANTARA 2006