Jakarta (ANTARA) - Calon Anggota (CA) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Imam Nashiruddin mengusulkan BPK mengoptimalkan penerimaan pajak dengan undang-undang yang sudah disahkan oleh DPR.

“Senjatanya sudah sangat ampuh, ada 16 undang-undang, tinggal bagaimana kita melaksanakannya. (UU) yang terakhir ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan memahami undang-undang peraturan perpajakan dengan baik, itu akan berdampak pada rekomendasi yang tepat sasaran,” ujar dia saat “Fit and Proper Test Calon Anggota BPK” bersama Komisi XI DPR yang dipantau secara virtual, Jakarta, Senin.

Pada tahun 2022, tax ratio di Indonesia berada di peringkat ketiga terbawah di ASEAN dengan angka 10,4 persen. Karena tax ratio rendah, katanya pula, maka berimplikasi kepada rendahnya penerimaan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kendati BPK telah melakukan pemeriksaan terhadap pelaporan pajak setiap tahun sejak reformasi 1998, tetapi setiap tahun pula tax ratio Indonesia berada di posisi bawah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Apalagi, perbandingan tersebut dilakukan terhadap negara-negara Eropa yang memiliki tax ratio di atas 30 persen.

“Padahal ada peran dan fungsi dari BPK di sana untuk memberikan rekomendasi. Rekomendasi kalau tidak didasari atas pengetahuan sosiologi peraturan perpajakan dan hubungan antara SDM (sumber daya manusia) yang terkait dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), (dan) masyarakat wajib pajaknya, maka kegiatan pemeriksaan BPK itu hanya menjadi rutinitas tahunan, menjadi kegiatan formalitas,” ujar Imam.

Lebih lanjut, dia menemukan praktik tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak) yang perlu diatasi.

Menurut dia, tax avoidance cenderung dilakukan dengan cara transfer pricing (menggeser laba dari Indonesia ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah). Cara lain yang dapat dilakukan adalah menggeser laba atau kerugian ke perusahaan lain dalam satu grup di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas perpajakan yang ada di Tanah Air.

Adapun masalah terakhir yang perlu dikuatkan adalah struktur pengendalian internal di DJP, sehingga diperlukan dukungan pengawasan dari eksternal auditor.

Imam menganggap banyak kegiatan yang dilakukan secara manual di DJP meningkatkan interaksi antara wajib pajak dengan petugas pajak, sehingga berpotensi menimbulkan berbagai persoalan seperti korupsi.

“Ada senjata yang sudah diberikan dari DPR kepada kami, terutama pasal Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Hak Akses Informasi. Ini sebetulnya bisa mengatasi banyak permasalahan,” katanya pula.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, Imam merupakan lulusan Sarjana Ekonomi Akuntansi di Universitas Gajah Mada (UGM), Magister Ekonomi Manajemen UGM, dan Doktoral Hukum UGM.

Selama 26 tahun, dirinya telah bekerja di DJP dengan penugasan di berbagai bidang. Mulai dari bidang pemeriksaan, akuntansi, perpajakan, hukum, intelijen, dan penyidikan.

Selain itu, dia juga menjadi dosen pasca sarjana di Institut Bisnis Indonesia Kwik Kian Gie Jakarta dan menjadi pembina Yayasan Rumah Panti Asuhan Birulwalidain di Kebumen, Jawa Tengah.
Baca juga: DPD rekomendasikan lima calon anggota BPK ke DPR
Baca juga: Komisi XI DPR gelar uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023