Setiap produk yang akan disebarluaskan kepada masyarakat harus menempuh beberapa prosedur untuk bisa memiliki paling tidak standard nasional.
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bambang Prasetyo, mengatakan bahwa langkah untuk merealisasikan sumber daya hayati atau bioresources menjadi bioproduct memerlukan standardisasi agar lebih meyakinkan dan bisa mendapat perlindungan hukum.

"Setiap produk yang akan disebarluaskan kepada masyarakat harus menempuh beberapa prosedur untuk bisa memiliki paling tidak standard nasional," kata Bambang pada acara "Diskusi Panel dan Peluncuran Buku BIORESOURCES untuk Pembangunan Ekonomi Hijau", di Bappenas Jakarta, Jumat.

Bambang menambahkan bahwa produk yang sudah memiliki standar dari BSN akan memiliki jaminan untuk melindungi produk-produk dalam negeri, seperti pemanfaatan hasil alam untuk dijadikan minuman atau obat herbal sejenis jamu.

"Saya pernah tanya ke penjual jamu gendong belanja bahan baku jamunya dimana. Ternyata harus dikirim langsung dari Wonogiri," tambahnya.

Dalam penjelasannya, Bambang mengatakan bahwa usaha jamu tradisional merupakan contoh kecil usaha yang sebenarnya membutuhkan standardisasi dari pemerintah. Banyaknya isu yang mengabarkan adanya campuran bahan kimia pada produk jamu tradisional bisa merugikan produsen jamu tersebut.

Ia melanjutkan bahwa cara yang bisa ditempuh untuk meyakinkan masyarakat bahwa jamu yang diproduksi bebas dari bahan kimia yang tidak seharusnya ditambahkan adalah dengan mendaftarkannya ke BSN. BSN akan menguji mulai dari hasil akhir jamu tradisional yang dibuat dan kemudian memutuskan apakah produk tersebut memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau tidak.

Selain produk jamu, Bambang juga memaparkan bahwa BSN pernah memberikan penghargaan kepada PT Gerak Tani yang dikelola oleh masyarakat biasa bisa menghasilkan produk seperti cabai kering yang mampu memenuhi SNI.

"Kalau hasil dari ekosistem lokal bisa sampai tahap ini (standardisasi, red) maka akan memberikan keuntungan daerah asal ekosistem lokal tersebut," jelas Bambang.

Menurut dia, pengelolaan potensi hijau di daerah lebih membutuhkan perhatian khusus dari pada potensi lain seperti emas. Emas akan tetap utuh meskipun dibiarkan, namun potensi hayati seperti pepohonan di hutan bisa saja mengalami kebakaran.

Mengacu pada beberapa pertimbangan yang telah disebutkan, Bambang mengatakan bahwa buku "Bioresources untuk Pembangunan Ekonomi Hijau" sangat membantu untuk memberikan pengetahuan tentang pengelolaan kekayaan hayati sebagai kaluaran ataupun produk yang lebih bermanfaat.

"Setelah saya baca, buku ini bukan hanya diperuntukkan bagi kaum peneliti atau ilmuwan. Semua orang bisa memahami isi buku ini karena bahasanya yang tidak terlalu sulit," jelas Bambang.

(ANT)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013