Dalam dokumen Health Outlook 2023, CISDI mencatat anggaran kesehatan di Indonesia masih bersifat reaktif
Jakarta (ANTARA) - Pendiri sekaligus CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih menyoroti penghapusan anggaran kesehatan minimal 10 persen dalam RUU Kesehatan.

"Dalam dokumen Health Outlook 2023, CISDI mencatat anggaran kesehatan di Indonesia masih bersifat reaktif. Tidak ada tren peningkatan gradual untuk persentase anggaran kesehatan pada APBN dalam 10 tahun terakhir," katanya dalam diskusi bertajuk "Kepentingan Publik Yang Belum Ada di RUU Kesehatan" secara daring di Jakarta, Kamis.

Penghapusan anggaran kesehatan minimal 10 persen dalam RUU Kesehatan baik di tingkat pusat dan daerah tercantum dalam Pasal 420 ayat 2 dan 3 RUU Kesehatan.

Diah mengatakan keputusan itu dapat berimplikasi pada berkurangnya akses masyarakat menuju layanan kesehatan. Padahal, lanjutnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menerbitkan jurnal yang menyebutkan masyarakat yang tinggal di negara yang mengalokasikan anggaran kesehatan 5--6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih mudah mengakses layanan kesehatan, dengan temuan lebih sedikit pengeluaran individu.

"Berarti lebih sedikit yang dimiskinkan karena harus mengakses layanan kesehatan," katanya.

Senada dengan WHO, Diah melanjutkan Resilient and Responsive Health Systems menyebut butuh alokasi anggaran kesehatan lebih dari 5 persen dari PDB untuk bisa memberikan pelayanan yang baik untuk ibu dan anak.

"Sementara Indonesia saat ini baru mengalokasikan sekitar 3,5 persen dari PDB untuk anggaran kesehatan," katanya.

Kebijakan itu, kata Diah, menyebabkan hanya orang yang mampu saja mengeluarkan uang secara mandiri untuk menambah layanan kesehatan yang berkualitas.

Baca juga: Sri Mulyani: Realisasi anggaran kesehatan 2022 Rp176,7 triliun
Baca juga: Sri Mulyani: Anggaran kesehatan 2023 turun, menjadi Rp169,8 triliun


Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kata dia, sebanyak 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki anggaran kesehatan di bawah 10 persen dengan distribusi yang timpang.

"Dengan desentralisasi kesehatan 100 persen, maka kalau kesehatan tidak jadi prioritas di daerah, dia akan sulit mendapat porsi anggaran dan tidak ada program mendukung kesehatan itu sendiri," katanya.

CISDI memandang alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen masih sangat dibutuhkan untuk memperluas ruang fiskal APBD, sambil pemerintah pusat meningkatkan kapasitas pengawasan dan koordinasi dengan pemda untuk memonitor efisiensi anggaran kesehatan.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril mengemukakan anggaran kesehatan pada tahun ini terbagi atas prioritas yang sejalan dengan transformasi kesehatan, diantaranya program promotif preventif seperti revitalisasi puskesmas dan posyandu.

Selanjutnya adalah restrukturisasi rumah sakit di seluruh Indonesia melalui kolaborasi pemerintah daerah dalam menanggulangi penyakit yang menyebabkan kematian dan biaya paling tinggi, yaitu jantung, stroke, dan kanker.

Kemenkes juga mengembangkan kecukupan SDM kesehatan untuk memastikan tenaga dokter dan dokter spesialis cukup. Salah satunya melalui program pemberian beasiswa pendidikan kedokteran yang lebih banyak.

Baca juga: Fellowship dokter spesialis Kemenkes jaring 1.258 peserta
Baca juga: Kemenkes dan LPDP tingkatkan beasiswa pendidikan dokter spesialis

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023